Senin, 18 Mei 2015

Seputih Cinta Putri 4

Seputih Cinta Putri 3

"Mas Andi! Lain kali tidak perlu menunjuk  nama ataupun pihak yang terkait! Mas tidak tau apa-apa!

Om Lukman memanggilnya Mas untuk mengajari anak-anaknya sekaligus sebagai penghormatan status Andi dalam keluarga besar mereka. Hal yang dirasanya janggal mengingat jabatan Om Lukman sebagai Dirut perusahaan Memetri yang menyokong keberlangsungan usaha percetakan Metroloz sedangkan ia hanya tukang gambar. Dan baru-baru saja, ia dipercaya
mengisi  refreshing korner. Rubrik kosong yang disediakan khusus untuk pemula melalui tulisan, artikel, atau karya-karya reprensentatif lainnya. Kontributornya ditetapkan oleh banyaknya polling pembaca yang merespon dan Andi yang memenangkan dalam beberapa periode. Andi berhak menjadi kontributor tetap dengan konsep karikatur. Dia menggunakan inisial 'Dika' di rubrik tersebut.
Dalam penerbitan edisi terakhir, karikatur yang dibuat Andi menuai protes. Tidak tanggung-tanggung yang memprotes adalah instansi di pemerintahan dan beberapa perusahaan ternama di ibukota. Karikatur yang secara tidak langsung menyebut beberapa instansi yang terkait menjadi penyebab masalah pembangunan Mall Metropolis. Pembangunan yang didukung sepenuhnya oleh Memetri. Pihak redaksi kalang kabut dan masalah tersebut telah sampai ke dewan perusahaan. Hanya sebagian kalangan yang tau bahwa Andi merupakan putra mahkota pewaris perusahaan besar Memetri. Masalah yang menimpanya hampir membuka identitasnya pada publik. Rahasia yang belum saatnya diungkap membuat Om Lukman menemuinya secara khusus.

"Tapi Om! Mereka yang memulai intrik! Mereka yang selama ini mencoba merusak rencana demi keuntungan mereka sendiri! Tidak ada cara yang lebih baik, Om! Tidak ada salahnya kita mencoba melawan mereka dengan media!"

"Caramu beresiko, Mas! Mereka lebih paham situasi lebih dari kita! Mereka lebih berkuasa dari kita, ingat itu!"

"Lebih baik kita berusaha, Om! Respon positif atas artikel ini membuktikan dukungan besar pada kita!"

Om Lukman yang tegang dan Andi yang berapi-api akhirnya saling diam. Om Lukman menyarankan pada Dewan Redaksi untuk melakukan release review sebagai permintaan maaf secara terbuka atas pihak-pihak yang dicemarkan nama baiknya.  Andi mengambil sikap ingin menghentikan artikel sesuai saran Omnya meski rubrik yang diasuhnya diharapkan terus berlanjut.  Om Lukman berharap Andi menerapkan strategi lain.

"Posisimu banyak yang mengincar, Mas! Bijaklah bersikap dan tetap menjadi pelayan bagi para kawula alit seperti yang diajarkan oleh mendiang Ramamu!"

Andi termenung di ruang kerjanya. Visualisasi karikatur yang tengah dikerjakannya diperhatikannya dengan kurang minat. Beberapa kali ia menghempaskan nafas seolah ingin melepas beban  yang menyesak di rongga dadanya. Ia lalu berusaha merapikan berkas-berkas yang berserakan di mejanya. Kata-kata Om Lukman yang khusus menemuinya tadi pagi di ruang Pimred kembali terngiang.

"Hai, Bro! Aku langsung cabut, ya!"
Andi tidak begitu kaget karena sudah terbiasa dengan suasana buru-buru dan tiba-tiba di sekitarnya. Bukan cuek tapi mencoba mengikuti ritme agar penerimaan sensoriknya tidak kehilangan sensivitasnya. Kecepatan menangkap momen dan ketepatan mengambil tindakan untuk penyelamatan dokumen sudah menjadikannya kebal dengan kejutan. Dalam dunia reportase, letupan berupa kejutan tersebut justru yang ditunggu-tunggu.

Dramatis! Kesan itu dimunculkan pada suatu momen. Demi visual momen merelakan sesamanya dalam bahaya dan Andi menyebutnya 'Gila!'
Mendengar orang yang tergulung ombak, terpukau oleh ledakan, atau tergelincir kecuraman...
Maca kahanan!
Membaca keadaan, Andi pribadi tidak tau harus geli atau ngeri dengan fenomena selfie dan atau wisata bencana. Pemandangan indah yang ingin coba orang dapatkan  namun berpotensi membahayakan keselamatan jiwanya...
Lantas orang yang hilang kesadaran hati dan pikirannya saat memotret seorang balita  kelaparan yang tengah sekarat sedang di belakangnya telah menunggu burung pemakan bangkai..
Demi sebuah momen!?
Hasil jepretan yang mengerikan! Dodo dan Andi tercenung mendapati foto itu di internet.
Ah! Bukan kejadian itu yang menyedihkan justru manusia yang mengabadikannya. Bisa jadi foto itu menggugah simpati yang melihatnya dan tukang fotonya menyesal karena empatinya sudah mendahuluinya mati.
Andi menyadari dunia yang dipilihnya secara sepenuhnya. Seperti barusan, Dodo datang ke mejanya mengambil beberapa dokumen di laci. Sepertinya sudah ia persiapkan dan bergegas pergi setelah Andi menjawab sapaannya tanpa kata hanya dengan senyuman dan mengangkat tangannya yang terbuka. Lalu serunya;

"Biarkan pintu itu tetap terbuka, Bung!"

Dodo mengangkat dokumen yang dibawanya sebagai kepatuhan sambil tetap berlalu.
Pintu lebar itu menandakan  yang sedang bekerja di dalamnya sedang istirahat. Tapi Andi tidak keluar dari ruangannya dan bisa ditemui. Banyak proposal yang musti digarap Andi, kalau tidak ditemui langsung maka prioritas untuk mengejar deadline pekan ini. Ruangan itu terhubung dengan dapur bersih yang mirip kafe. Tempat yang digunakan para pengejar deadline mendapatkan minuman dan camilan yang paling dekat. Kadang tempat itu juga digunakan untuk ngumpul bareng dan semacam rapat dadakan.

Aldo, Susi dan Noni terlihat sedang ongkang-ongkang menikmati kopi dan makan camilan. Olivia yang tadinya bergabung, menuju ruangannnya sebentar untuk mengecek kerjaan asistennya. Semua sesuai yang diharapkannya lalu kembali ke kafe Rehat, nama ruangan dapur dalam kantor tersebut. Ia menyeduh susu jahe kesukaannya apalagi saat tenggorokannya mulai bermasalah. Susi menanyainya tentang artikel Dika  berjudul 'Matinya Pahlawan Intelektual'  yang jadi kontroversi.

"Oh, yang mana?" tanya Olivia sok tidak tahu bikin teman-teman sekerjanya mendengus.

Bukannya tidak tau tapi Olivia mencoba antusias dengan kontroversi tersebut namun tidak dalam hal lain. Semua juga tau Dika itu inisial Andi Kusuma, kontributor rubrik baru yang menang polling. Andi yang selalu dikait-kaitkan dengan dirinya. Biasanya ia tidak menggubris tapi akhir-akhir ini jika ada yang mengkaitkannya dengan Andi malah membuatnya naik darah. Simpul tanya yang ingin diurainya makin terasa menjerat dirinya. Sungguh, Olivia jealous dengan pertanyaan mengenai Andi yang ditujukan padanya. Kali ini ia ingin menuntaskan penasarannya agar bisa membungkam mulut orang-orang rese itu.

Olivia masuk  menuju rak-rak penyimpanan bundelan majalah Metroloz persis di sebelah kanan meja Andi yang masih menekuri laptopnya.

"Andi! Sepertinya kamu tau benar segala hal tentang pembangunan Mall Metropolis itu?" Olivia membuka pembicaraan sambil membuka artikel-artikel lawas dengan inisial 'Dika'.

Karikatur tersebut hanya berupa simbol rubrik di majalah yang diterbitkan secara online sedang rubrik  selengkapnya dalam bentuk cetak jadi Olivia punya alasan mengapa ia harus dekat-dekat dengan Andi. Ia 'panas' dengan desakan teman-teman sekerjanya untuk mengetahui keterkaitan Andi dengan pembangunan Mall Metropolis. Di sisi lain, gejolak di hatinya butuh jawaban. Olivia tidak tau harus mulai darimana. Sikap diam Andi bikin Olivia jadi tidak sabar. Seolah tak dihiraukan membuatnya jengkel. Kemarahan itu terlihat jelas yang mengarah pada sosok yang ada paling dekat dengannya. Candaan Noni, Susi, dan Aldo di sebelah agak jauh terhenti, mereka saling sikut ingin tau keterangan dari mulut Andi yang biasanya lancar bila di hadapan Dodo ataupun Olivia.
Tatapan Olivia dan Andi bertemu.  Andi menatap sekilas lalu memelototi laptopnya lagi. Gelegak kemarahan  Olivia berubah menjadi kebingungan.

"Kalau kau tak mau jawab... itu.. hak kamu, kok!" Olivia berusaha menutupi kegugupannya.

"Aku hanya manusia biasa! Aku hanya melakukan yang aku bisa... itu saja!"
Andi sambil berdiri meregangkan tubuh dan menata lembaran-lembaran di rak membantu Olivia. Ada kedekatan tapi seperti sama-sama canggung. Saling menjaga jarak. Aldo, Noni, dan Susi menatap mereka tanpa kedip seoalah takut kehilangan momen penting. Dodo yang tidak jadi pergi lantas ingin kembali ke ruangannya terhenti di hadapan mereka bertiga. Memandangi dua sejoli disana sambil menelan ludah dengan susah payah.

" Kapan kamu menjawab yang orang awam tidak perlu menaikkan alis?" tanya Olivia sedatar mungkin namun malah terasa penuh penekanan.

Mereka saling pandang

"Kalau begitu, ikuti aku! Maaf!" Andi menarik tas lengan Olivia dan mau tak mau si pemiliknya ikut saja.

"Do! Kamu tau mereka kemana?" tanya Aldo sesaat setelah Andi-Olivia melewati mereka.
Yang ditanya hanya mengangkat bahunya.
"Ah, diskusi cinta..."
Mereka saling cekikikan lalu tergelak.
-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar