Rabu, 06 Januari 2016

Ingin Segera Pulang


Ini juga enggak jelas juntrungannya apa masuk daftar peserta atau tidak. Dan berpendapat lain dengan penuh was-was dimana enggak jelas juga diriku sudah memasukkan alamat email dengan benar atau tidak setelah mendapat pengalaman sebelumnya pernah memasang alamat email yang keliru... padahal copas
 >_<
akhirnya copas menggunakan copy link location biar valid lalu diulangi dengan merapal huruf demi huruf alamat yang dimaksud dan memastikan semua, baru  nekan ikon 'kirim'...
Dan pede juga aku menyertakan cerpen ini ke +flp.fsin2015@gmail.com  [Ups!] tidak ditemukan URL link-nya... yakni Festival Sastra Islam Nasional tahun 2015 yang diselenggarakan +Forum Lingkar Pena
Mencoba membuat cerpen ringan dan  nyatanya hanya kata nyastra saja yang di cerita 0_o



***
Bau masakan menguar makin membuat perutnya bertambah lapar. Namun ia harus lebih bersabar untuk menikmatinya setelah sampai di rumah. Nasi goreng ati dengan rasa pedas yang sedang, kali ini sebagai penghargaan diri sendiri untuk usahanya. Ditambah ayam kampung bakar untuk ibunya.  Dan ia akan menikmatinya bersama keluarga yang dicintainya.


Sudah beberapa waktu sejak mengetahui adanya bukfer bulan ini Aryani lantas melakukan persiapan. Yang pertama dilakukannya tentu meminta ijin pada ortunya bebarengan dengan  kompromi bersama teman-teman komunitas terdekatnya pada hari yang ditentukan. Dan hari Ahad yang cerah kali ini, Aryani bergembira berkesempatan keluar rumah. Bukan sekedar mbolang tapi sekali perjalanan untuk penyelesaian dua tiga keperluan.
Semua pekerjaan rumah pada hari ini juga sudah beres membuat keberangkatannya tanpa beban. Makin awal berangkat jadi makin lebih cepat pula ia pulang. Saking semangatnya ia lupa dimana harus turun untuk tempat tujuan pertamanya ke radio Tata Nurani yang berada di selatan Manahan sana.  Yang menjadi ancar-ancarnya setelah pertigaan Manahan ke depan sana sedikit lalu turun. Menara pemancar  seolah sudah terlihat tadi membuatnya terburu-buru.
Celingak-celinguk, tak dijumpai pertigaan dan menara yang menandai keberadaannya untuk berbelok ke arah sana. Iya, sana… di luar daerahnya, Aryani bingung menentukan empat penjuru mata angin lantas menggantinya dengan kanan-kiri atau depan-belakang. Menara yang dilihatnya sekilas tadi setelah dikenali lagi ternyata pemancar sinyal seluler yang sudah menjamur hingga ke kampung halamannya. Aryani tidak patah semangat karena ia masih berada di satu jalur menuju ke terminal. Sungai Bengawan Sala di seberang tetap setia menunjukinya jalan menuju tempat yang dituju. Aryani tinggal mengikuti alur sungai yang menginspirasi  Mbah Gesang menggubah lagu.
Syukurlah penanda itu masih berupa sungai. Renung Aryani tanpa basa-basi. Daerah yang diperjuangkan para pecinta lingkungan hidup untuk tetap menjadi lahan resapan air. Warga kota metropolitan harus maklum kanal-kanal yang disediakan khusus untuk saluran air bukan tempat mukim. Disini, kalau berupa rumah atau bangunan bisa bikin ia linglung seorang diri. Seperti di kota kecilnya dimana pihak-pihak berduit berebut investasi dengan membeli tanah yang tepat berada di bantaran sungai. Lebih dari tiga meter persegi jarak antara bibir sungai yang bisa ditutup diatasnya, lumayan untuk memperlebar lahan huni. Bagi keluarga yang rumahnya berada di urutan belakang dari akses jalan umum merupakan intimidasi. Empunya lahan di urutan yang berhadapan dengan jalan tersebut bisa saja dengan sengaja menutup jalur masuk. Hanya doa yang bisa dipanjatkannya, Semoga ia mampu memperoleh  lahan yang berhubungan langsung dengan jalan sehingga dapat bersedekah dengan keberadaan jalur jalan tersebut. Atau setidaknya, semoga ada yang berkepentingan dengan jalur jalan yang membelah kampung-kampung.  
Betapa perjalanannya masih jauh ketika di depannya mulai terlihat tembok keliling mirip benteng pertahanan. Stadion Manahan! Rasa suntuknya makin menjadi ketika berseliweran sepeda motor yang seolah menertawakan kukuh kakinya melangkah. Aryani menyadari posisinya yang belum bisa naik motor karena memang belum punya. Pemikiran tersebut diyakininya dapat bergeming begitu memiliki motor sendiri namun tidak tahu kapan itu menjadi kenyataan. Lagian ia yang pelupa jadi mikir seribu kali jika ingin berkendara. Halah! Kenapa jadi mengeluh tanpa guna? Kakinya masih bisa berjalan jauh menjadikan tubuhnya makin bugar. Sejenak ia mencoba menikmati pemandangan yang tersaji di sepanjang perjalanannya
Berjalan jauh meski tadi naik bus yang dingin ber-AC agar mandi peluh dapat dihindari. Udara di Sala ini jauh lebih panas dibanding sejuknya hawa pegunungan di kampung halamannya sehingga langsung terasa panas menyengat di kulit meski jam digital ponselnya masih menunjuk jam sembilan pagi. Tuh! sudah mulai mengeluh letih? Aryani tau punya masalah bau badan tapi mau bagaimana lagi?   Tidak seperti di rumah ia bisa saja langsung mandi dan sedia pakaian ganti. Masalahnya ia juga gampang berkeringat. Minyak zaitun sedikit membantu meminimalisir bau yang tak sedap dan masih ragu meski parfum non alkohol yang dipilih. Ia tau hukumnya haram baginya. Alasan mendesak bukan untuk memikat lawan jenis namun guna menyamarkan bau badan. Kalau ada waktu ke toilet umum Aryani memakai parfum yang diteteskan ke lembaran tisu dan diberinya air untuk menyeka ketiaknya. Kalau tidak, maka ia bener-bener menjaga gerakannya jangan sampai bau itu menguar. Ah!  Masalah serius yang sampai kini masih butuh pemecahan.
Tak terasa Aryani sampai juga ke pertigaan yang sudah tak asing lagi baginya. Menara yang dicarinya memberitaunya bahwa ia telah berada di jalur yang benar. Itu dia! Aryani tersenyum seolah menyambut pemberitauannya. My Allah! Senyum samar yang dia sampaikan diiringi anggukan bertepatan ketika menjawab sapaan bapak tukang becak yang menawarinya. Namun ia berjalan terus sambil mengamati jalan sekelilingnya, mengambil kesempatan menyeberang ke arah kiri jalan.
Bungkusan besar yang berisi oleh-oleh jajanan khas kota kecilnya ditentengannya berupa rambak kulit, rambak bawang, tempe gepuk, dan lainnya dibenahinya sebelum masuk gerbang ke radio Tata Nurani.  Aryani kesana ingin mengambil hadiah juga ingin bertemu dengan sahabat siar disana terutama Mbak Nugraheni yang suka ia isengin. Bahkan ia telah menyiapkan oleh-oleh khusus baginya,  selusin fillet lele  berpanir ditambah saus sambal super pedas buatannya sendiri. Syukurlah, ada banyak Kru disana meski hari libur sebab ada agenda akbar di bulan Muharram dengan acara Sillaturakhim. Mbak Nugraheni bilang kalau teman-teman komunitas tadi kesini tapi segera cabut karena ada agenda lain.
Keakraban Kru radio bikin ia tidak sungkan lagi hanya was-was jika sampai salah tingkah di hadapan ikhwan..? Aryani yakin seorang ikhwan pas disematkan untuknya karena ke-sholeh-annya. Aryani menepuk keningnya sendiri, bukankah radio Tata Nurani memang radio Islami? Insya Allah yang berada di dalamnya juga para mukminin. Aryani hanya berani mengakui perasaannya pada kekaguman semata meski punya harapan lebih. Eits! Tingkahnya ia samarkan sembari membuka-buka novel hadiah yang baru diterimanya tadi.
“Kenapa, Mbak?” tanya Mbak Widya yang menemaninya di serambi belakang sambil mengantri ke toilet, jelang Dzuhur.
“Ini novel berat, Mbak Widya… Nyastra!” jawab Aryani tanpa maksud berbohong.
“Tapi  ceritanya bagus, lho Mbak!”
“Emang mbak ‘udah baca?” tanya Aryani tanpa menutupi keraguannya.
“He.. he.. kan ‘dah pernah diulas di bedah buku!? Mbak Aryani malah menang kuisnya…”
“Yee.. kirain ‘dah baca beneran,” katanya sambil berberes “Udah, ah! Saya mau pulang sekarang! Tolong pamitin sama yang lain, ya mbak!” pinta Aryani sambil mengulurkan tangannya dan cipika-cipiki lalu langsung melesat keluar.
Di halaman Aryani memberi isyarat pada bus yang lewat yang telah dikenalinya akan menuju ke tempat yang ditujunya. Karena ia dapat dispensasi untuk tidak melaksanakan kewajiban sholat berniat meneruskan agendanya hari ini ke Mall di jalan Slamet Riyadi untuk mengaktifkan nomer lawasnya yang melampaui masa tenggang karena ponselnya rusak. Alamak! Ia lupa bahwa rute bus berubah semenjak keberadaan Bus Sala Trans. Daripada bingung memilih segera turun dimana ia ketahui sebagai Alun-Alun Kobar. Menyempatkan bertanya pada Pak Satpam suatu Bank ternama dimana ia musti berbelok menuju jantung kota. Syukurlah, walaupun masih beberapa ratus meter  ia tidak jauh tersesat.  Bukankah petualang sejati harus berani punya pengalaman nyasar?! Dengan sugesti mbeling itu Aryani kekeuh melanjutkan perjalanannya.
Tiba di galeri operator kenamaan, Aryani harus bersabar masuk antrian. Namun tidak begitu lama ia sudah dapat panggilan. Masih menunggu proses, ada sms masuk ke ponselnya. Di Assalam eks Goro, teman sesama komunitas penulis tengah menantinya. Aryani meminta pengertian untuk memberinya waktu guna menuju kesana. Nomer ponsel yang diinginkan dalam tempo singkat didapatkannya begitupun bus kota yang diperlukannya.
Tiba di pelataran masjid, teman dumay yang baru kopi darat saling menyapa. Aryani meminta maaf pada temannya karena harus menunggunya tapi bukan maksudnya untuk datang terlambat. Karena temannya ada agenda lain bersama keluarganya maka Aryani segera memberikan kamera manual dengan negative film yang meskipun sudah enggak praktis di jaman sekarang namun terlihat masih baru. Sebelum tergantikan dengan kamera digital, kamera manual itu memang model terbaru.  Ia relakan hadiah ulang tahun dari ayahnya itu dilelang sebagai donasi amal peduli korban bencana gunung Sinabung. Gunung api Tanah Karo yang berperilaku agresif sejak tahun 2010 yang lalu. Temannya itu yang memenangkan lelang seharga seratus ribu.
Lirna menelponnya ketika Aryani mengantarkan teman dumay-nya dijemput. Lirna telah menunggunya di hypermart, depan pintu masuk.  Aryani bergegas ke bangunan utama pusat perbelanjaan tersebut. Dilihatnya Lirna sedang asyik dengan ponselnya yang baru.  Kata Lirna bahwa teman-teman komunitas pendengar Tata Nurani habis acara besuk teman lairan juga janjian untuk bertemu. Aryani lantas mengusulkan ke depan  ruang sekretariat untuk menunggu. Ternyata teman-teman mereka telah berada disitu mengikuti acara bedah buku. Sudah jelas dia yang dijuluki Si Kutu Buku malah enggak tahu.  Alhasil Aryani  jadi menggerutu. Tapi teman-temannya yang pengertian menenangkannya kalau acaranya belum dimulai  karena nunggu Narsum. Mendadak panitia mengumumkan pengunduran acara itu. Ada pertukaran waktu. Acara kajian parenting dimajukan pada saat itu untuk kemudian ba’dha Ashar untuk acara bedah buku. Memang, telah banyak berkumpul para orang tua bersama putra-putri mereka disitu. Aryani dan kawan-kawan menempati barisan belakang tak kalah ribut. Tak kalah dengan para ortu, bila mendapat lontaran pertanyaan dari pengisi acara  ikut menyahut. Usai acara, mereka berpencar  mencari sesuatu sesuai keperluan masing-masing dan janjian di pelataran Masjid guna kembali berkumpul.


Aryani berharap jika di rumah nanti bisa melaksanakan sholat fardhu di awal waktu seperti yang dilakukan teman-temannya. Sambil menunggu teman-temannya yang sholat Ashar, Aryani membuka sms sambil menunggui barang bawaan. Sesekali menjejali mulutnya dengan kapal selam. Penganan yang sempat jadi anekdot berkaitan dengan penyadapan telephon di rumah kepresidenan oleh intelijen Australia. Saat itu Pak SBY yang memegang jabatan Kepala Pemerintahan.
Sms balik kakak kelas semasa SMA yang hari ini tidak bisa menemuinya karena besuk adik iparnya ke RS.Moewardi. Padahal tadi sempat kesini. Ia berharap bisa bertemu pada kesempatan yang lain.  Aryani mengutarakan kalau tadi pergi dahulu ke radio Tata Nurani.
Nyelam sambil nyari ikan, Tante?  temannya di seberang memanggilnya Tante untuk ngajari Yoga anaknya yang sudah dianggapnya ponakan sendiri dengan pertanyaan menggelitik. Hati-hati aja biar nggak kegigit!’
‘Idih! Mana ada ikan yang gigit manusia? Kalaupun ada piranha kan jauh di sungai pedalaman Amazon sana? Lagian diriku bukan tahanan narkoba yang musti dijagaian sama buaya maupun arkaima... Aryani tak kalah berkelit.
Ada tuh ikan paus sama hiu < emoticon meledek>
Pasti Bundanya Yoga enggak update berita terbaru tuh, Aryani menelan   kekecewaan karena gurauannya tak mengena.
Ampun! Disini kan adanya bengawan! Paus sama hiu mah di laut..’
Ya ada kalau terdampar
Pasti udah mati jadi dah nggk bisa nggigit’  <emoticon bego>
Yang penting dah ngingetin, Tante, Smoga di lain kali kita bisa jumpa lagi
Bagaimanapun Aryani sangat berterima kasih dengan perhatian sahabatnya. Mereka lalu saling mengirim salam untuk mengakhiri pembicaraan. Aryani tersenyum penuh arti pada seorang anak seumuran Yoga yang bermain-main dekat ia duduk dan anak itu membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya. Aryani menawarinya kapal selam yang lumayan banyak tapi anak itu malah berlalu pergi sambil mengucap terima kasih hingga membuatnya terkesima. Bocah sekecil itu  santun sekali pastilah ortunya hebat.
SMS dari nomer lain masuk membuatnya tersadar kembali. Masnya telah berkeluarga pasti punya keperluan lain tapi masih menemani ibu yang di rumah sendiri. Aryani menghela nafas sembari memandang kaki langit yang indah sekali. Ada kecemasan juga ia pulang  terlalu sore hari ini. Tapi kapan lagi ia bisa mengikuti workshop menulis?  Apalagi temannya, salah satu kru dari Event Organizer yang menyelenggarakan bukfer kali ini menyebut seorang novelis seniornya. Kecemasan itu larut seketika teman-temannya satu-persatu mengelilinginya dan menemaninya menikmati kapal selam lengkap dengan teh hangat merk kesukaannya. Ia ragu  Lirna  bisa diajak menjadi teman seperjalanan pulang. Kemungkinan besar Lirna menyaksikan konser nasyid penghabisan. Dan ia telah mengirim balasan ke nomer ponsel Masnya kalau ia akan pulang terlambat.
Sebelum minumannya habis, Aryani bergegas ke panggung utama. Disusul teman-temannya.  Aryani merasa canggung sebab belum pernah ia mengikuti workshop menulis sebelumnya. Namun kehadiran teman-temannya membuat ia tak malu bertemu muka dengan senior yang  sejak awal mengenalnya telah ia kagumi dengan karya-karyanya  yang seolah sejiwa dengannya.
Acara yang berlangsung terasa begitu singkat berakhir dengan lancar. Semua berpencaran untuk berfoto ria. Aryani memilih menyingkir namun disusul kemudian insiden kecil  dimana atap berupa potongan seng, mungkin penambal bocor, di tenda dekat panggung tiba-tiba melayang jatuh. Hampir menimpa seorang ibu yang duduk menggendong batitanya kalau tidak tangan Aryani yang reflek menghalau. Ia tau sedari awal gerakan seng itu menarik perhatian disertai bunyi gemerutuk.
Panitia penyelenggara di ruang sekretariat serentak ingin tau apa yang terjadi. Tidak ada yang berarti kecuali seng berukuran kecil yang jatuh tergeletak di belakang deretan kursi. Tapi Aryani menyadari tangannya tersenggol seng yang jatuh tadi.  Seketika ia melafal ‘Innalillah’ memegang tangannya yang terasa pedih tergigit. Ia tak mengatakan apapun saat ditanyai. Hanya ekspresi kecemasan dan langsung berlari ke arah toilet masjid. Ia mengerti ada yang mengikuti entah teman atau panitia yang tak kalah khawatir.
Aryani menuju ke tempat wudhu yang ada tempat duduknya. Belum banyak orang karena waktu masuk Maghrib masih setengah jam. Ia cemas meski kain di lengan yang tersenggol seng yang jatuh menimpanya tadi tidak terkoyak. Ia tahu betul kulitnya mudah memar dan terluka meski dengan sedikit singgungan. Dirasanya darah haidnya menderas. Ia lega tadi sempat menganti pembalutnya. Perlahan ia membuka untuk mengetahui yang terjadi di bawah lengan bajunya. Lafal Istighfar di batinnya. Justru ia mendengar ‘Masya ALLAH’ yang tertahan di belakangnya.
Keributan kecil terjadi.  Aryani pasrah ada yang membebat lengannya, ada yang membersihkan darahnya di saluran air, dan kemungkinan di baju dan kakinya. Dia diam namun berusaha tetap sadar ada yang berdebat untuk menangani kejadian yang menimpanya. Ada yang dengan suara satu-satu namun tegas telah memeriksa sambil membawa kotak berisi semacam peralatan medis. Luka di tangan Aryani  dibersihkan lalu dijahit. Aryani menolak untuk diajak beranjak dari tempat itu dengan tegar menyaksikan bagaimana jarum jahit menembus kulit. Mbak cantik yang tuturnya renyah itu ternyata cekatan hingga lebih ampuh menjadi obat penenang ajaib. Bahkan ia tak merasa perlu menerima ganti rugi ketika mendapati lukanya tertangani dengan baik. Ia hanya meminta diperbolehkan pulang segera  agar yang di rumah tidak semakin khawatir. Lirna yang tak tega tidak jadi menunggu konser nasyid berakhir dan memilih pulang sehabis Maghrib.
Teman-teman sesama komunitas yang akhwat berprihatin dengan keadaannya.  Aryani merasa yang dialaminya luka biasa bersikeras pulang naik bus saja.  Ia mendapat ongkos pulang dan makan malam berdua bareng Lirna ditambah paket buku dari penulis seniornya. Belum lagi teman-temannya ikut menghadang bus umum yang bisa mengantar mereka pulang.
Aryani menjaga agar tangannya yang sakit tidak mendapat gangguan selama perjalanan. Lirna yang sangat mengerti berusaha membantu memberinya kenyamanan. Tas dan belanjaannya dibawa Lirna. Saat naik bus di akhir pekan selalu penuh  memaksa mereka berdiri namun di tengah perjalanan Lirna mengangsurkan tempat duduk baginya. Mereka berdua maklum meski tempat duduknya di anak tangga yang dipergunakan untuk naik ke kursi penumpang dekat sopir hingga sesekali beringsut jika ada yang turun atau naik melewati mereka. Pak sopir dan kernet malah sempat menanyakan tangannya yang terlindungi karena Aryani mengenakan jaket sebelah tangan sementara tangan kirinya yang terluka hanya disangkutkan di pundaknya. Lirna yang menjawab bahwa tangan Aryani terluka kena potongan seng tanpa menjelaskannya secara lengkap.
“Dia enggak tau kalo seng tuh  keras nggak selembut roti mungkin, Pak..” canda Lirna ketika mendapat pertanyaan beruntun seolah penuh selidik.
Aryani hanya melirik sengit dan mendorong lengan sahabatnya itu. Tapi  apapun dengan pernyataan sahabatnya ia harus setuju. Kelakar bersambut dan pembicaraan dengan awak bus  beralih pada mereka berdua saja begitu  ada penumpang turun. Aryani memandang sekilas ke sahabatnya lalu ke pemandangan di hadapannya yang bergerak laju. Mereka sudah hampir sampai tapi Aryani sempat merenung.


“Mungkin ALLAH mengingatkanku karena menyakiti temanmu dengan lisanku tadi…”
Aryani tak dapat melupakan telah mewarnai pertemuan Lirna dengan teman sosmednya yang ingin kopi darat. Ia yang suka ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa tidak pantas kalau seorang pendidik mempermalukan temannya di hadapan anak didiknya.
Saat itu,  Aryani  merutuk ketika Lirna yang berusaha mencari teman sosmednya tidak mau menampakkan diri. Dengan intuisi, Aryani memperhatikan di sekitarnya ketika didapatinya ada sebuah mobil di parkiran dekat masjid. Di dalamnya terlihat anak-anak berseragam TK yang mungkin peserta lomba dalam acara bukfer, memandang ke arah mereka, terkikik-kikik. Ia melirik ke Lirna yang mondar-mandir dengan ponsel yang melekat ke gendang pendengarannya menanyakan keberadaan teman sosmednya itu. Bahwa teman sosmednya sudah melihatnya dan telah berada disitu.
“Orang sombong yang terkesan rendah hati!”
Kalau tulisan bisa ia hapus lantas bagaimana jika ucapan yang telah terucap berpeluang menyakiti hati?
Dengan hati-hati dan para awak bus mengerti membantu mereka turun. Sebelum berpisah, Aryani mengusulkan beli nasi goreng kesukaan Lirna namun dibungkus. Bagaimanapun, perut mereka masih kenyang jadi bisa untuk makan malam sebelum pergi tidur.  Lirna akhirnya mengiyakan ajakan itu. Mungkin ada pembicaraan lanjut.
Aryani kembali menanyakan apa Lirna sudah menyampaikan permintaan maafnya pada teman sosmednya itu. Lirna mengangguk dan jawaban teman sosmednya itu bahwa ia tidak mempermasalahkan yang dianggapnya sekedar kejadian lucu..
Gambaran Lirna juga ada pada teman sosmednya itu. Miss Terry not Mister Iyus! Perkenalannya dengan Lirna meski tinggal di kampung halaman yang sama diwarnai dengan kesalahpahaman tentang jati diri Lirna, dulu... Sempat terpikir olehnya kalau orang yang suka menyembunyikan identitasnya itu bukan orang baik padahal ia sendiri melakukannya pula dengan alasan tertentu. Sekarang,  jati diri yang dikaburkan dianggapnya perlu asal bukan membukanya dengan identitas palsu.


Aryani tersenyum pahit. Semua telah berakhir dengan manis hari ini. Diamatinya perban yang menghiasi pergelangan tangannya. Yang dipikirkannya sedari tadi adalah bagaimana cara menyampaikan apa yang terjadi dengan pergelangan tangannya itu pada ibunya sembari menanti nasi goreng pesanannya selesai dibungkus untuk dibawa pulang. Tanpa membohongi dan tanpa kejutan. Dan jangan sampai dijadikan alasan untuk melarangnya keluar dari rumah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar