Kamis, 31 Desember 2015

Legenda Gentansari

Lanjutan saat ikutan Lomba kepenulisan Cerita Rakyat 2015 oleh Kemendikbud...
Dari blog YouandWe 'Tentang Cerita Rakyat'

Sebelum fix menemukan pov 2, cerpen ini kutulis menggunakan  kata ganti aku, kau, dan dia.
Bener kata bunda Shabrina +eni wulansari  ...rupanya aku belum 'ngeh' kalau pov 2 yang mendominasi dan saat kucoba menghilangkan kata ganti aku dan dia, ternyata tidak berpengaruh pada keseluruhan cerita.
Berikut cerpen asal-muasal kampung Gentansari,
Desa Gladagsari,
Kecamatan Ampel,
Kabupaten Boyolali
masih berupa copas langsung dari google drive-ku. Sama sekali belum disunting. Kecuali line spacing.

copy image location from blog youandwe

***

Dari  dua  gunung  yang  menjulang  itu,  Merapi  dan  Merbabu,  mata  air  sungai  ini  mengalir membelah  bukit-­bukit  dan  ngarai.  Kedengaran  riaknya  yang  tak  putus-­putus  meski surut  dan meluap  seiring  pergantian  musim.  Desau  angin  pegunungan  seolah  mengiringi  gerakan  mata yang tajam menelisik. Itu menurutku. Justru mereka  yang mengenal  tatapan  itu  begitu lembut dan penuh pesona.

Ah! Bagi sebagian  awam keadaan sepi mamring di tempat ini jadi menjemukan. Namun tidak bagimu. Seperti pepatah ‘Takkan Lari Gunung Dikejar’, sungai dan rerimbunan merupakan suatu kelanggengan. Tiada perubahan. Hanya menimbulkan  kesan tidak adanya peradaban. Padahal, di balik kekokohan yang menjulang itu telah menjadi saksi tumbuh dan musnahnya kehidupan dalam sekejap maupun lamban. Bukan  berarti  diamnya  gunung itu tidak  ada  pergerakan sama sekali...

Dan siapa bilang bahwa gunung itu diam?

Lirih  dirimu  bergumam  pada  sekitarmu  yang  mendengarkan,  tentunya..  Sebagaimana pendengaranmu merekam kisah dimana sekarang kita berada. Kisah yang tak lengkap. Berbagai pertanyaan berkelindan nampak dari tautan di kedua alismu.

Kenapa cerita ini jadi menarik setelah semua berubah dari ada menjadi tiada?

Jika satu kisah membuat tempat ini abadi maka akan diperlukan kisah-­kisah serupa untuk yang lain. Dan mulailah  cerita  yang  berulang  kali  disampaikan mendiang  ayahmu  dulu tanpa minat kau  dengarkan  yang sekarang  malah  makin  mengusikmu  guna  mengurainya  dengan  caramu pada teman­-temanmu...

‘Kisah Kali Panjer dan Jurang Endas’

Dua  aliran  sungai  itu  yang  menjadi  saksi  legenda  terjadinya  dukuh  Gentansari.  Dukuh  yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Gladagsari, Kecamatan Ampel.

Bermula  dari  dusun  Karangkopek  dimana  kantor  kawedanan  Ampel  berada.  Saat  Sinuhun Pakubuwono VII  berkuasa  daerah Ampel  yang waktu itu  dikenali  dengan  banyaknya tanaman jeruk dijadikan kawedanan yang sekarang setingkat Kabupaten yang membawahi  5 kecamatan Selo, Cepogo, Simo, Karanggede, dan Ampel.

Pada  masa  pemerintahan  Sinuhun  Paku  Buwono  IX,  ketentraman  Karangkopek  yang  konon dijaga  oleh  penunggu  ghaib  berupa  harimau  putih  terganggu  dengan  ulah  Gentho.  Seorang bertabiat  suka  mengambil  hak  milik  orang  lain.  Tidak  ada  yang  mampu  menghentikan  ulah mursal  Si  Gentho.  Warga  dusun  yang  hidupnya  nyaman  mulai  resah.  Kesejahteran  warga terancam.

Beberapa orang linuwih memang berhasil membantai Si Gentho tapi sejenak kemudian ia rebah ke  bumi,  tubuh  Gentho  bangkit  kembali.  Kian  hari,  tindakan  Gentho  makin  menjadi.  Para Pamong Praja risih dengan kejadian tak mengenakkan dan tak bisa menyembunyikan peristiwa tersebut di hadapan Raja Surakarta yang tedhak di Ampel.  Apalagi perjalanan Sinuwun sempat mengalami kendala di tanjakan menuju BonJeruk karena kereta kerajaan selip dan harus ditarik ke  atas  menggunakan  ‘gladag’,  tali  yang  biasa  dipergunakan  untuk  menambat  kapal  besar. Sinuwun sendiri menyempatkan bertirakat memohon petunjuk dan memohon pertolongan pada Hyang Maha  Agung.  Bahkan  membangun  pesanggrahan.  Di  tempat  itulah  cikal  bakal  Desa Gladagsari.

Singkat  cerita,  hanya  satu  orang  yang  mampu  melenyapkan  nyawa  Gentho  untuk  selama-
lamanya.

“Seorang pendekar? Seseorang itu mempunyai nama, kan?”

Terlihat, yang lain lebih sibuk ingin tahu pemandangan apa yang ada daripada mencari tau yang terjadi pada apa yang dipandang. Dan dia, yang paling perhatian dari yang lain tentang ceritamu bertanya hal yang tidak sepenuhnya kau pahami kebenarannya.

“Sebut saja Prasaja! Dia bukan seorang pendekar”

Sebagai  kadang sepuh dari  Sinuwun sendiri  karena  Den  Mas  Prasaja  begitu  ia  biasa  disapa, masih  kerabat  jauh  menurut  jalur  keturunan  ayah  dan  dekat  dari  jalur  ibu,  ikut  turun  tangan.

Seorang ahli sastra yang bertugas sebagai juru tulis di dalam istana. Beliau bergelar Raden Mas Ngabehi Wisastra. Beliau tidak asal bertindak karena sudah ada Angger Gunung untuk wilayah Ngampel yang mendapat limpahan tugas mengendalikan ketentraman. Angger Gunung tersebut tak lain ayah angkat Ramanya, Kamituwa. Dengan sepengetahuan dari Sinuhun Pakubuwono IX, Den Mas Prasaja bahu membahu mengatasi perbuatan Gentho yang sewenang­-wenang.

Sebenarnya,  keterlibatan  Den  Mas  Prasaja  karena  gadis  yang  pernah  ditunangkan  dengannya dinodai oleh Gentho. Den Mas Prasaja sendiri baru saja beristri namun belum diboyong. Kalau Wiranti  tidak  berterusterang  dengan  perasaan  cintanya,  mungkin  tidak  akan  ada  peristiwa pembantaian tersebut.

Gentho tidak bakal berururusan dengan Den Mas Prasaja yang terkenal seorang alim yang lemah lembut.  Tidak  akan  mungkin  melenyapkan  nyawa  orang  meski  orang  tersebut  akan membunuhnya sekalipun. Pembawaannya yang tenang, tidak mudah terpancing amarahnya dan lebih  banyak  mengalah  membuat  Gentho  segan  padanya.  Sedari  mula  bersua,  Gentho  pun bersikap hormat pada pemuda yang berbudhi luhur itu. Rara  Wiranti  yang  batal  dijodohkan  dengannya  akan  dinikahkan  dengan  pemuda  lain  pilihan ortunya  yang  derajatnya  dianggap  melebihi  Den  Prasaja.  Maklum,  karena  beliau sebelumnya pemuda sakit­-sakitan yang terlihat dipingit di dalam rumah karena keadaannya. Saat pemutusan perjodohan itu, Den Prasaja dianggap pengangguran. Kerjanya hanya mengikuti kemana ayahnya pergi berdagang. Hal ini membuat Kanjeng Ramanya berang lantas membuat sandiwara dengan menculik Wiranti dan menempatkannya di dalam kamar berdua bersama putranya sendiri dalam keadaan mabuk akibat pengaruh racun kecubung.

Tidak  terjadi  apapun  diantara  keduanya  yang sama-­sama  dalam  keadaan  tidak  sadarkan  diri. sampai  Uwa  Warsapati,  ayah  Wiranti  mengetahui  tindakan  penculikan  itu  dan  menemukan putrinya seranjang dengan Den Prasaja.

Tujuan  penculikan  itu  hanya  memberi  pelajaran  pada  Uwa  Warsapati  yang  mencoreng  muka keluarganya maka Ayah Prasaja menandaskan bahwa tidak terjadi sesuatupun diantara keduanya meski  tidur  seranjang.  Dan  Uwa  Warsapati  langsung  membawa  putrinya  pergi  yang  dalam keadaan  tak sadarkan  diri  malah  mengigau  memanggil  nama  Den  Prasaja  dengan  penuh  rasa rindu.

Mereka tidak menyangka dalam perjalanan  membawa Wiranti ke rumah, Warsapati dan  anak buahnya dicegat gerombolan yang dipimpin Si Gentho. Sasaran Gentho memang Wiranti. Begitu mudahnya Gentho merampungi Uwa Warsapati dan para pengawalnya lalu melarikan Wiranti, gadis yang sudah lama diincarnya.

Perbuatan  Gentho  atas  diri  Wiranti  diakuinya  di  hadapan  Ayah  Prasaja  ketika  ia  berhasil dibekuk.  Ia  berhasil  meloloskan  diri  dari  pakunjaran sebelum  diadili.  Padahal  dengan  susah payah,  ayah  Prasaja  bersama Angger  Gunung melumpuhkan  Gentho  dan mengikatnya  dengan tali  janget.  Si  Gentho  juga sesumbar ilmu  bantala rukti yang  dimilikinya  akan  mengekalkan hidupnya.

Bagaimanapun, Den Prasaja  dan  ayahnya merasa  paling  bertanggungjawab  atas  kejadian  yang menimpa keluarga Uwa Warsapati. Gentho diburu kembali. Kali ini dengan perintah langsung dari pamerintahan kasunanan yang menegaskan hukum pati bagi Gentho.

“Pelaksanaannya  tepat  pada  hari  Anggara  Manismalem  Rabu  Pahing!”  tatapanmu  lurus  ke depan sedang yang paling perhatian akan ceritamu dahinya berkerut merut.

“Lagi­-lagi wong Jawa menggunakan Primbon Neptu, Wuku...”  pernyataan yang sepertinya perlu penjelasan dan kamupun menoleh ke arahnya sejenak.

“Tidak sadarkah kalau bangsa kita termasuk kaum pemikir!?” seulas senyum dan tanpa peduli tanggapan sebelahmu itu terus menjelaskan bahwa yang namanya hasil pemikiran itu bisa saja salah tak terkecuali perhitungan manusia.

Justru  karena  alam  ini  diciptakan  dengan  kebenaran  perhitungan  sedangkan  insan  mencoba memahaminya.  Disitulah  yang  salah  seumpama  pada  hitungan  tersebut  seseorang  sedang berpantang melakukan sesuatu hajat padahal bisa diupayakan demi kebaikannya meski dengan laku  lebih berat untuk mencapai maksudnya itu... Dia  tercenung  dan  kamu  meneruskan  tanpa  mengindahkannya  sebab  yakin  anak  itu  masih mendengarkan ceritamu.

Den Prasaja mampu menjalin  hubungan  baik  dengan Si Gentho  bahkan  berniat ingin  bertobat sampai  menjadikan  beliau  iba.  Tapi  Sang Rama  dan  Angger  Gunung mengingatkan  hukuman pati  untuk si  Gentho.  Pada  hari  yang  ditentukan  itu,  Gentho sedang  bersenang­-senang  hingga membuat  Den  Prasaja  berkeputusan  mengakhiri  semua  ulah  santri  barunya  itu.  Kanjeng Ramanya dan Kamituwa mengawali tindakan dengan melumpuhkan Gentho. Den Prasaja baru bertindak setelah semua kewalahan menghadapi keganasan ilmu Gentho yang nggegirisi. Beliau bertindak  sebagaimana  Ki  Juru  Martani  bagi  Ki  Ageng  Sela  dan  Ki  Gedhe  Penjawi  saat keduanya menghadapi Arya Penangsang pada peristiwa Bengawan Sore.

“Lalu siapa yang berperan sebagai Raden Sutawijaya? Senjatanya tombak Kiai Plered, kan?”

Tau saja  anak itu padahal  cerita yang sesungguhnya mungkin tidak  akan sama persis. Terlihat kamu  terdiam  lama  karena  tidak  ingin  mengecewakan  teman  seangkatanmu  yang  semakin antusias itu. Alangkah tidak bijak jika ekspektasi yang meninggi itu terputus tiba-­tiba.

Yang  namanya  maut,  bila  sudah  waktunya  tidak  akan  bisa  dimajukan  atau  diundur.  Sudah pepesthen, hari kematian Gentho yang kepergok gurunya sedang berbuat mesum. Sebagai guru, Den Prasaja masih mengingatkan namun suara­-suara lain yang ikut mengeroyoknya membuatnya marah  dan  tidak  lagi  menghiraukan  bahkan  hampir  membunuh  guru  dalam  olah  kajiwan tersebut. Tentu saja,  perbuatannya  itu  bikin  pengawal Den  Prasaja  dan  yang  bersamanya  naik pitam.

Gentho berhasil dilumpuhkan kembali. Tapi setiap kali ditigas, anggota badannya yang terpotong menyatu kembali. Luka dari tembakan peluru emas juga pulih dalam  hitungan detik. Mengingat keadaannya  dan  kepedulian  gurunya  menyadarkan  Gentho.  Setinggi  apapun  kelebihan  yang dimiliki manusia pasti punya keterbatasan. Gentho menganggap Den Prasaja adalah ‘Satria Piningit’ yang dimaksud guru yang memberinya piyandel dan mengajarinya olah kanuragan. Ksatria itulah yang akan menamatkan riwayatnya.

Ksatria pinunjul ing apapak bukan karena ajian miliknya tetapi solah perbawa membuat musuh-
musuhnya takhluk. Sudah beberapa kali Gentho diyakinkan dengan kata­-kata Den Prasaja yang langsung menusuk ke relung kalbunya setiap  kali berhadapan. Kenyataan lainnya, Gentho menganggap bahwa Den Prasaja mengetahui pengapesannya.  Pada hari Sarik Agung dimana Gentho telah melanggar wewalernya sendiri.

Di  tengah  kesakitan  dan  tenaganya  yang  terkuras  habis,  akhirnya  Gentho  mau  memberitau bagaimana mencabut piyandel yang ada padanya hanya kepada Den Prasaja.  Gentho meminta ibu jarinya dilukai dengan duri uwi gembili. Dalam keadaan sekarat, Gentho berterusterang bahwa  merasa lelah dengan semua tindakannya.

Termasuk  perbuatannya  terhadap Rara Wiranti  tak  lain  karena sakit  hati  terhadap  lidah  tajam gadis itu yang menyinggung harga dirinya. Sebelumnya, Gentho tidak berani kurang ajar sebab tau  hubungan  Wiranti  dengan  Den  Prasaja.  Apabila  keluarga  Wiranti  tidak  memutuskan  tali perjodohan dengan keluarga Den Prasaja maka Gentho juga tidak akan mengusik gadis itu. Den  Prasaja  legeg  dengan  pengakuan  Gentho.  Sebelum  ajalnya,  Si  Gentho  sendiri  meminta untuk  dipisahkan  antara  kepala  dan  badannya  lalu  tidak  boleh  dibenamkan  ke  dalam  tanah.

Gentho  mengatakan  bahwa  jasad  manusia  nantinya  akan  kembali  ke  tanah  termasuk  dirinya. Semula, Gentho mengingkarinya namun setelah dirasanya maut akan menjemput jadi ingat asal mula  jati  dirinya  yang  sebenarnya.  Gentho  yakin  bahwa  Den  Prasaja  tau  apa  yang  harus dilakukan pada jasadnya nanti jika sudah mati.

Seperti pesannya sebelum meninggal, kepala  dan badan  Gentho dipisahkan. Semua dilakukan dengan  cepat  dan  cermat.  Bukan  keluarga  Den  Prasaja  yang  melakukan  tapi  putra  Demang Karangkopek.  Kepalanya [ ndas ]dibenamkan di aliran sungai yang curam dan deras  di dusun Mrawun.  Tempat  itu  dinamakan  ‘Jurang  Endhas’.

Sedangkan  gembung atau  badannya dibenamkan di  aliran sungai sekitar desa Kaligentong.  Mungkin pula daerah tempuran sungai yang  mengalir  di  desa  Sampetan  dan  Urutsewu.  Sebagai  penanda,  aliran  sungai  itu  selalu diterangi lampu dan tempat itu dinamakan ‘Kali Panjer’ Siluman  harimau  putih,  konon ikut moksa bersamaan  dengan meninggalnya Si Gentho. Meski pernah didaulat oleh raja  maling tapi desa dimana Gentho tinggal memang sejahtera [= sari]. Maka untuk menandai keberadaannya,   dusun Karangkopek berganti nama menjadi Gentansari.

Cerita  yang  masih  memunculkan  teka-­teki.  Kini  mereka  berkumpul.  Duduk  melingkar menikmati  berbagai  minuman  dan  kudapan  bersama-­sama..  Yang  tadinya  asyik  melihat-­lihat, mulai  nimbrung  dengan  pertanyaan­pertanyaan  menggelitik.  Jika  mereka  mendengar  di  awal cerita  tentang  dukuh  Karangkopek  yang  disatroni  maling  bernama  Gentho  maka  mereka  jadi bingung dengan pernyataanmu di bagian akhir tadi menyebut bahwa Karangkopek jadi sejahtera telah didaulat oleh raja maling.
Kamu  mengeluarkan  agenda  dan  menyerahkannya  pada  salah  seorang  temanmu  dengan lembaran yang terbuka. Dia mengamatinya sebentar lalu berdehem-­dehem. Mencari nada yang pas untuk memulai. Semua, termasuk diriku larut takzim mendengar lantunan syair nan penuh makna :

Dhandhanggula

Semut ireng ngendhog jroning geni
Ana merak bandrek lawan baya
Keyong sakenong matane
Tikus padha ngidung
Kucing gering ingkang nunggoni
Kodhok nawu segara oleh bantheng sewu
Ketapang angrangsang arga
Semut angrang angrangsang gunung merapi
wit ranti uwoh dlima...
#anggitan RN. Ranggawarsita

Kamu  melanjutkan  ceritamu  yang  bisa  dibilang  telah selesai  namun  menimbulkan  penasaran. Bahwa syair tembang macapat yang baru mereka dengar adalah sanepa dari keadaan masyarakat dan  pamerintahan  saat  itu.  Bahwa  antara  pujangga  dan  rajanya  sedang  terjadi  perselisihan.

Hubungan rakyat dengan penguasa dipenuhi pamrih. Akibat taktik adu domba yang dilancarkan Penjajah  Kompeni.  Pengaruhnya sampai  ke  tingkat-­tingkat  desa.  Lingkungan  yang  meluas  di luar kotaraja termasuk dusun Karangkopek. Masing­-masing mengetahui taktik itu dan berusaha menanggulangi. Sayangnya, tidak sembarang pribadi menyadari telah ikut terhasut.

Bisa  jadi,  Si  Gentho  merupakan  pemimpin  yang  terkena  hasutan  penjajah.  Kekuasaan  yang dimilikinya  disalahgunakan  untuk  kepentingan  pribadi  dan  kelompoknya.  Demi  kepentingan penjajah  bukan  bumi  pertiwi  dimana ia  berpijak. Peradilan tidak sanggup menghadapinya  dan akhirnya dipilihlah kekuasaan yang membayanginya. Gentho dibunuh.

Fakta  yang  terjadi  pada  jaman  yang  diperkirakan  bertepatan,  bahwa  Dusun  dimana  Gentho berkuasa  aman  sejahtera  sementara  di  dusun  lain  dijarah­rayah.  Di  belakang  kawedanan, tepatnya di AmpelDenta, sebelah utara Karangkopek, didirikan benteng pertahanan penjajah. Di hari  kemudian  karena  berkobar  semangat  perjuangan,  mes­-mes  yang  telah  berdiri  itu  beralih fungsi menjadi Sekolah Rakyat.

Bisa juga posisi Gentho sebagai penguasa begitu kuat padahal ada kepentingan politik yang lebih besar  jika  posisi  tersebut  tidak  ada.  Maka  diputuskan  posisi  tersebut  ditiadakan  dan  Gentho itulah  yang  di  posisi  yang  dimaksud  kemudian  disingkirkan.  Persis  perumpamaan  kisah Bengawan Sore yang kau singgung tadi.

Versi  lainnya  adalah  Gentho  merupakan  penganut  ajaran  Syekh  Siti  Jenar  pada  jaman  Wali Sanga  masih  sugeng.  Ajarannya  dianggap  sesat  karena  konsep  Makrifatullah [mengenal ALLAH] dengan mengenal diri sendiri yang pada jaman itu bisa disalahartikan menuhankan diri sendiri.  Ilmu  yang  berpeluang menyesatkan ini  dipelajari Gentho  hingga ia  bisa menjadikan dirinya tidak mati meskipun kepalanya terpisah dari badannya bila menyentuh tanah.

Sebenarnya, Gentho telah mencapai kesempurnaan ilmu karena percaya bahwa yang mematikan adalah Hyang Menciptakan dirinya yaitu ALLAH bukan manusia yang membunuhnya. Manusia hanya sebagai lantaran. Den Prasaja tau hal tersebut dan Gentho juga berpendapat bahwa selama ia masih percaya bahwa tiada Tuhan selain ALLAH. dan selagi ia masih berada dalam ilmunya yang  tertinggi  yakni  selalu  ingat  bahwa  yang  hidup  pasti  akan  mati,  Gentho  memilih  alam kelanggengan  sebelum  hatinya  berbolak­balik.  Gentho  sempat  mengalami  perubahan wujud [belang­beling]  karena  pergolakan  hatinya  hingga  tempat  dimana  ia  dieksekusi  dinamai dukuh ‘Mbelang’.

“Seberapa  tajam  lidah  Rara  Wiranti  mengoyak  harga  dirinya  sebagai  seorang  laki-­laki  yang punya kuasa dan kemampuan yang melebihi orang kebanyakan hingga menimbulkan dendam? “

Pertanyaan  kritis tersebut malah  kamu  buat sebagai  bahan  diskusi  bersama. Beragam jawaban yang  dapat  diseragamkan  bahwa  lidah  tajam  pastilah  kata-­kata  yang melukai  hati.  Seumpama paku  yang  tertancap  pada  dinding  meskipun  sudah  dicabut  tentu  masih  meninggalkan  bekas lubang paku yang menganga.

Kepuasan  mendengar  ungkapan  jawaban  dari  teman­-temanmu  menambah  pemahaman  baru bagimu.  Bahwa  bisa  saja  ada  hubungan  antara  Gentho  dengan  Rara  Wiranti  mengingat  Den Prasaja jarang keluar rumah termasuk menemui Rara Wiranti. Kemungkinan, Rara Wiranti tipe wanita  yang  supel.  agresif,  dan  periang  tentu  mudah  menjalin  pertemanan  dengan  siapapun termasuk  Gentho  yang  sudah  lama  punya  rasa  pada  gadis  itu.  Bila  kesepian,  tentu  Gentho menyediakan  dirinya  untuk  menemani  Wiranti.  Namun,  Wiranti  hanya  menganggap  Gentho sebagai  teman.  Gentho  bisa  menerima  kenyataan  itu  apalagi  mengingat  keadaan  dirinya  yang melarat dan tak berpangkat. Karena rasa cintanya dan sebagai upaya membuktikan Gentho bisa kaya dan berpangkat dengan menjadi bromocorah.

“Lantas,  mengapa  dipilih  aliran  sungai  Jurang  Ndas dan  Kali  Panjer  sebagai  tempat membenamkan jasad Gentho? Bukan karena kebetulan kan?” salah seorang bertanya.

“Mari  kita  kembali  pada  kisah  sebelumnya!  Mengingat  kembali  bahwa  Rara  Wiranti menanggung malu karena perbuatan Gentho”

Rara Wiranti tewas, nglalu dengan menceburkankan diri ke dasar jurang itu. Mengetahui perihal itu,  Gentho ingin menebus dosa pada gadis itu.

Kenyataan  lainnya  bahwa  di  tempat  yang  jarang  dan  sulit  dilalui  orang  biasa  itu,  ibunya diperdaya lelaki hingga menjadi sebab ia terlahir ke dunia. Ibunya dinikahkan dengan lelaki lain yang bukan ayahnya sampai Gentho lahir. Sebagai anak kowar, perikehidupan Gentho tidak akan terangkat  bila tidak  dipupu oleh  keluarga Demang  yang tidak  dikaruniai  anak. Ki Demang itu yang  menikahi  ibunya.  Sudah  menjadi  rahasia  umum  Ki  Demang  memiliki  anak  yang  bukan darah  dagingnya sendiri  dan  bukan  hanya Gentho seorang. Perselingkuhan  yang  dijabani  oleh seorang suami pada istrinya untuk memperoleh keturunan dan diakui sebagai anak sendiri. Jamu dong lingga yang lumrah dilakonin sejak jaman dulu.

Rasa sakit hati akibat kehadirannya yang sebenarnya tak diinginkan sekaligus pilihan hidup yang dijalani ibunya membuat tingkah Gentho mudah berubah-­ubah. Kadang baik penuh kasih tapi tak jarang  pula  Gentho  menjadi  orang  yang  kasar  dan  pemberang.  Nyaris  tidak  punya perikemanusiaan. Perilaku menyimpang itu kambuh ketika Wiranti menolak lamarannya begitu tau orangtuanya memutus tali perjodohan dengan Den Prasaja. Wiranti mengungkit masa lalunya yang  kelam  tersebut  sehingga  dijadikannya  alasan  bahwa  Gentho  tidak  layak  bersanding dengannya.

Bagi  Gentho  kepalanya  sudah  dianggap  musuh  bagi  dirinya  sendiri.  Sepasang  mata  yang digunakan  untuk  memandang  telah  silau  dengan  kecantikan  Wiranti.  Sampai  Gentho  tega menjarah  ladang  yang  belum  halal  untuknya.  Pikiran  busuk  dari  otak  yang  berada  dalam  isi kepalanya  yang mempengaruhi tindakannya. Gentho tidak mengindahkan isi hatinya. Memang kepala berada diatas yang artinya berpikir dulu sebelum bertindak. Namun ego dan nafsu Gentho melumpuhkan  pemikirannya  hingga  jatuh  ke  bawah  bahkan  lebih rendah  dari  telapak  kakinya yakni  syahwat  yang  belum  halal.  Perbuatannya  tersebut  lebih  rendah  dari  kelakuan  binatang yang memang tak dibatasi aturan. Jika Gentho menginginkan kepala dan hatinya terpisah, itulah alasannya.

Cerita  tadi  juga  mengungkap  kalau  pelaku  mutilasi  jasad  Gentho  dilakukan  Anak  Demang Karangkopek.  Ada  kemiripan  dengan  kisah  pewayangan  Sugriwa  dan  Subali  bersaudara  yang bermusuhan  memperebutkan  takhta  dan  wanita.  Bedanya,  Gentho  dan  Anak  Demang Karangkopek itu saudara seibu. Anak Demang Karangkopek tersebut bersih dari kelakuan jahat yang digadang­-gadang menggantikan kalungguhan ayahnya.

Panjer  yang  bisa  diartikan  suatu  cahaya  terang.  Badan  Gentho  yang  memuat  organ  hatinya melambangkan jati dirinya yang murni dibenamkan di Kali dimana tempat itu yang dipilihnya untuk  menyepi  semenjak  menjadi  murid  Den  Prasaja.  Merenungi  dirinya  sendiri.  Menyatu dengan  alam  sekitarnya.  Menjadi  bagian  dari  apa  yang  ada  di  sekelilingnya  hingga  merasa dirinya  begitu  kecil  diantara  makhluk­-makhluk  lainnya.  Disitulah  ia  menemukan  dirinya kembali.  Gentho  bisa  mendengar  kata  hatinya.  Sanubarinya  yang suci  dengan  menanggalkan semua  apa  yang  dimilikinya  yang  bersifat  keduniawian.  Jasad  yang  tak  berkepala  tersebut dibenamkan di aliran sungai dalam keadaan bertapa.

Mungkin nama yang mirip untuk kisah Gentho yang suka bertirakat, menyendiri, atau bersemedi ini  sama  dengan  tokoh  ‘Joko  Genthong’  yang  menjadi  kisah  legenda  terjadinya  Desa Kaligenthong.  Perwujudan bentuk genthong sendiri mirip badan manusia yang bersemedi tanpa kepala. Gentho berharap jasadnya yang telah mati berguna menjadi pengingat bagi generasi sesudahnya.

“Sampai saat ini, kita perlu bersyukur sebab alam ini masih langgeng. Bukan tidak mungkin situs abadi ini akan musnah... Penghuni yang bernama manusia mengukuhkan keberadaannya dengan sampah yang berserakan. Mengganti yang bernyawa dengan benda tak bernyawa...”
Engkau  sengaja  bergumam  demikian  untuk  menyindir  teman­temanmu  yang  terlihat  mulai berbuat  sembrono  terhadap  sampah­-sampah  yang  dihasilkannya  sendiri.  Setelah  beres  lantas berlalu dengan teman-
­temanmu. Tapi..
Hei!..
 Apa kau akan kembali lagi kemari?
H E I !..
Kau dan teman­-temanmu sudah tak mengindahkanku lagi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar