Lanjutan saat ikutan Lomba kepenulisan Cerita Rakyat 2015 oleh Kemendikbud...
Dari blog YouandWe 'Tentang Cerita Rakyat'
Sebelum fix menemukan pov 2, cerpen ini kutulis menggunakan kata ganti aku, kau, dan dia.
Bener kata bunda Shabrina +eni wulansari ...rupanya aku belum 'ngeh' kalau pov 2 yang mendominasi dan saat kucoba menghilangkan kata ganti aku dan dia, ternyata tidak berpengaruh pada keseluruhan cerita.
Berikut cerpen asal-muasal kampung Gentansari,
Desa Gladagsari,
Kecamatan Ampel,
Kabupaten Boyolali
masih berupa copas langsung dari google drive-ku. Sama sekali belum disunting. Kecuali line spacing.
***
Dari blog YouandWe 'Tentang Cerita Rakyat'
Sebelum fix menemukan pov 2, cerpen ini kutulis menggunakan kata ganti aku, kau, dan dia.
Bener kata bunda Shabrina +eni wulansari ...rupanya aku belum 'ngeh' kalau pov 2 yang mendominasi dan saat kucoba menghilangkan kata ganti aku dan dia, ternyata tidak berpengaruh pada keseluruhan cerita.
Berikut cerpen asal-muasal kampung Gentansari,
Desa Gladagsari,
Kecamatan Ampel,
Kabupaten Boyolali
masih berupa copas langsung dari google drive-ku. Sama sekali belum disunting. Kecuali line spacing.
copy image location from blog youandwe |
***
Dari dua gunung yang menjulang itu, Merapi dan Merbabu, mata air sungai ini mengalir membelah bukit-bukit dan ngarai. Kedengaran riaknya yang tak putus-putus meski surut dan meluap seiring pergantian musim. Desau angin pegunungan seolah mengiringi gerakan mata yang tajam menelisik. Itu menurutku. Justru mereka yang mengenal tatapan itu begitu lembut dan penuh pesona.
Ah! Bagi sebagian awam keadaan sepi mamring di tempat ini jadi menjemukan. Namun tidak bagimu. Seperti pepatah ‘Takkan Lari Gunung Dikejar’, sungai dan rerimbunan merupakan suatu kelanggengan. Tiada perubahan. Hanya menimbulkan kesan tidak adanya peradaban. Padahal, di balik kekokohan yang menjulang itu telah menjadi saksi tumbuh dan musnahnya kehidupan dalam sekejap maupun lamban. Bukan berarti diamnya gunung itu tidak ada pergerakan sama sekali...
Dan siapa bilang bahwa gunung itu diam?
Lirih dirimu bergumam pada sekitarmu yang mendengarkan, tentunya.. Sebagaimana pendengaranmu merekam kisah dimana sekarang kita berada. Kisah yang tak lengkap. Berbagai pertanyaan berkelindan nampak dari tautan di kedua alismu.
Kenapa cerita ini jadi menarik setelah semua berubah dari ada menjadi tiada?
Jika satu kisah membuat tempat ini abadi maka akan diperlukan kisah-kisah serupa untuk yang lain. Dan mulailah cerita yang berulang kali disampaikan mendiang ayahmu dulu tanpa minat kau dengarkan yang sekarang malah makin mengusikmu guna mengurainya dengan caramu pada teman-temanmu...
‘Kisah Kali Panjer dan Jurang Endas’
Ah! Bagi sebagian awam keadaan sepi mamring di tempat ini jadi menjemukan. Namun tidak bagimu. Seperti pepatah ‘Takkan Lari Gunung Dikejar’, sungai dan rerimbunan merupakan suatu kelanggengan. Tiada perubahan. Hanya menimbulkan kesan tidak adanya peradaban. Padahal, di balik kekokohan yang menjulang itu telah menjadi saksi tumbuh dan musnahnya kehidupan dalam sekejap maupun lamban. Bukan berarti diamnya gunung itu tidak ada pergerakan sama sekali...
Dan siapa bilang bahwa gunung itu diam?
Lirih dirimu bergumam pada sekitarmu yang mendengarkan, tentunya.. Sebagaimana pendengaranmu merekam kisah dimana sekarang kita berada. Kisah yang tak lengkap. Berbagai pertanyaan berkelindan nampak dari tautan di kedua alismu.
Kenapa cerita ini jadi menarik setelah semua berubah dari ada menjadi tiada?
Jika satu kisah membuat tempat ini abadi maka akan diperlukan kisah-kisah serupa untuk yang lain. Dan mulailah cerita yang berulang kali disampaikan mendiang ayahmu dulu tanpa minat kau dengarkan yang sekarang malah makin mengusikmu guna mengurainya dengan caramu pada teman-temanmu...
‘Kisah Kali Panjer dan Jurang Endas’
Dua aliran sungai itu yang menjadi saksi legenda terjadinya dukuh Gentansari. Dukuh yang secara administratif masuk dalam wilayah Desa Gladagsari, Kecamatan Ampel.
Bermula dari dusun Karangkopek dimana kantor kawedanan Ampel berada. Saat Sinuhun Pakubuwono VII berkuasa daerah Ampel yang waktu itu dikenali dengan banyaknya tanaman jeruk dijadikan kawedanan yang sekarang setingkat Kabupaten yang membawahi 5 kecamatan Selo, Cepogo, Simo, Karanggede, dan Ampel.
Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwono IX, ketentraman Karangkopek yang konon dijaga oleh penunggu ghaib berupa harimau putih terganggu dengan ulah Gentho. Seorang bertabiat suka mengambil hak milik orang lain. Tidak ada yang mampu menghentikan ulah mursal Si Gentho. Warga dusun yang hidupnya nyaman mulai resah. Kesejahteran warga terancam.
Beberapa orang linuwih memang berhasil membantai Si Gentho tapi sejenak kemudian ia rebah ke bumi, tubuh Gentho bangkit kembali. Kian hari, tindakan Gentho makin menjadi. Para Pamong Praja risih dengan kejadian tak mengenakkan dan tak bisa menyembunyikan peristiwa tersebut di hadapan Raja Surakarta yang tedhak di Ampel. Apalagi perjalanan Sinuwun sempat mengalami kendala di tanjakan menuju BonJeruk karena kereta kerajaan selip dan harus ditarik ke atas menggunakan ‘gladag’, tali yang biasa dipergunakan untuk menambat kapal besar. Sinuwun sendiri menyempatkan bertirakat memohon petunjuk dan memohon pertolongan pada Hyang Maha Agung. Bahkan membangun pesanggrahan. Di tempat itulah cikal bakal Desa Gladagsari.
Singkat cerita, hanya satu orang yang mampu melenyapkan nyawa Gentho untuk selama-
lamanya.
“Seorang pendekar? Seseorang itu mempunyai nama, kan?”
Terlihat, yang lain lebih sibuk ingin tahu pemandangan apa yang ada daripada mencari tau yang terjadi pada apa yang dipandang. Dan dia, yang paling perhatian dari yang lain tentang ceritamu bertanya hal yang tidak sepenuhnya kau pahami kebenarannya.
“Sebut saja Prasaja! Dia bukan seorang pendekar”
Sebagai kadang sepuh dari Sinuwun sendiri karena Den Mas Prasaja begitu ia biasa disapa, masih kerabat jauh menurut jalur keturunan ayah dan dekat dari jalur ibu, ikut turun tangan.
Seorang ahli sastra yang bertugas sebagai juru tulis di dalam istana. Beliau bergelar Raden Mas Ngabehi Wisastra. Beliau tidak asal bertindak karena sudah ada Angger Gunung untuk wilayah Ngampel yang mendapat limpahan tugas mengendalikan ketentraman. Angger Gunung tersebut tak lain ayah angkat Ramanya, Kamituwa. Dengan sepengetahuan dari Sinuhun Pakubuwono IX, Den Mas Prasaja bahu membahu mengatasi perbuatan Gentho yang sewenang-wenang.
Sebenarnya, keterlibatan Den Mas Prasaja karena gadis yang pernah ditunangkan dengannya dinodai oleh Gentho. Den Mas Prasaja sendiri baru saja beristri namun belum diboyong. Kalau Wiranti tidak berterusterang dengan perasaan cintanya, mungkin tidak akan ada peristiwa pembantaian tersebut.
Gentho tidak bakal berururusan dengan Den Mas Prasaja yang terkenal seorang alim yang lemah lembut. Tidak akan mungkin melenyapkan nyawa orang meski orang tersebut akan membunuhnya sekalipun. Pembawaannya yang tenang, tidak mudah terpancing amarahnya dan lebih banyak mengalah membuat Gentho segan padanya. Sedari mula bersua, Gentho pun bersikap hormat pada pemuda yang berbudhi luhur itu. Rara Wiranti yang batal dijodohkan dengannya akan dinikahkan dengan pemuda lain pilihan ortunya yang derajatnya dianggap melebihi Den Prasaja. Maklum, karena beliau sebelumnya pemuda sakit-sakitan yang terlihat dipingit di dalam rumah karena keadaannya. Saat pemutusan perjodohan itu, Den Prasaja dianggap pengangguran. Kerjanya hanya mengikuti kemana ayahnya pergi berdagang. Hal ini membuat Kanjeng Ramanya berang lantas membuat sandiwara dengan menculik Wiranti dan menempatkannya di dalam kamar berdua bersama putranya sendiri dalam keadaan mabuk akibat pengaruh racun kecubung.
Tidak terjadi apapun diantara keduanya yang sama-sama dalam keadaan tidak sadarkan diri. sampai Uwa Warsapati, ayah Wiranti mengetahui tindakan penculikan itu dan menemukan putrinya seranjang dengan Den Prasaja.
Tujuan penculikan itu hanya memberi pelajaran pada Uwa Warsapati yang mencoreng muka keluarganya maka Ayah Prasaja menandaskan bahwa tidak terjadi sesuatupun diantara keduanya meski tidur seranjang. Dan Uwa Warsapati langsung membawa putrinya pergi yang dalam keadaan tak sadarkan diri malah mengigau memanggil nama Den Prasaja dengan penuh rasa rindu.
Mereka tidak menyangka dalam perjalanan membawa Wiranti ke rumah, Warsapati dan anak buahnya dicegat gerombolan yang dipimpin Si Gentho. Sasaran Gentho memang Wiranti. Begitu mudahnya Gentho merampungi Uwa Warsapati dan para pengawalnya lalu melarikan Wiranti, gadis yang sudah lama diincarnya.
Perbuatan Gentho atas diri Wiranti diakuinya di hadapan Ayah Prasaja ketika ia berhasil dibekuk. Ia berhasil meloloskan diri dari pakunjaran sebelum diadili. Padahal dengan susah payah, ayah Prasaja bersama Angger Gunung melumpuhkan Gentho dan mengikatnya dengan tali janget. Si Gentho juga sesumbar ilmu bantala rukti yang dimilikinya akan mengekalkan hidupnya.
Bagaimanapun, Den Prasaja dan ayahnya merasa paling bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa keluarga Uwa Warsapati. Gentho diburu kembali. Kali ini dengan perintah langsung dari pamerintahan kasunanan yang menegaskan hukum pati bagi Gentho.
“Pelaksanaannya tepat pada hari Anggara Manis, malem Rabu Pahing!” tatapanmu lurus ke depan sedang yang paling perhatian akan ceritamu dahinya berkerut merut.
“Lagi-lagi wong Jawa menggunakan Primbon Neptu, Wuku...” pernyataan yang sepertinya perlu penjelasan dan kamupun menoleh ke arahnya sejenak.
“Tidak sadarkah kalau bangsa kita termasuk kaum pemikir!?” seulas senyum dan tanpa peduli tanggapan sebelahmu itu terus menjelaskan bahwa yang namanya hasil pemikiran itu bisa saja salah tak terkecuali perhitungan manusia.
Justru karena alam ini diciptakan dengan kebenaran perhitungan sedangkan insan mencoba memahaminya. Disitulah yang salah seumpama pada hitungan tersebut seseorang sedang berpantang melakukan sesuatu hajat padahal bisa diupayakan demi kebaikannya meski dengan laku lebih berat untuk mencapai maksudnya itu... Dia tercenung dan kamu meneruskan tanpa mengindahkannya sebab yakin anak itu masih mendengarkan ceritamu.
Den Prasaja mampu menjalin hubungan baik dengan Si Gentho bahkan berniat ingin bertobat sampai menjadikan beliau iba. Tapi Sang Rama dan Angger Gunung mengingatkan hukuman pati untuk si Gentho. Pada hari yang ditentukan itu, Gentho sedang bersenang-senang hingga membuat Den Prasaja berkeputusan mengakhiri semua ulah santri barunya itu. Kanjeng Ramanya dan Kamituwa mengawali tindakan dengan melumpuhkan Gentho. Den Prasaja baru bertindak setelah semua kewalahan menghadapi keganasan ilmu Gentho yang nggegirisi. Beliau bertindak sebagaimana Ki Juru Martani bagi Ki Ageng Sela dan Ki Gedhe Penjawi saat keduanya menghadapi Arya Penangsang pada peristiwa Bengawan Sore.
“Lalu siapa yang berperan sebagai Raden Sutawijaya? Senjatanya tombak Kiai Plered, kan?”
Bermula dari dusun Karangkopek dimana kantor kawedanan Ampel berada. Saat Sinuhun Pakubuwono VII berkuasa daerah Ampel yang waktu itu dikenali dengan banyaknya tanaman jeruk dijadikan kawedanan yang sekarang setingkat Kabupaten yang membawahi 5 kecamatan Selo, Cepogo, Simo, Karanggede, dan Ampel.
Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwono IX, ketentraman Karangkopek yang konon dijaga oleh penunggu ghaib berupa harimau putih terganggu dengan ulah Gentho. Seorang bertabiat suka mengambil hak milik orang lain. Tidak ada yang mampu menghentikan ulah mursal Si Gentho. Warga dusun yang hidupnya nyaman mulai resah. Kesejahteran warga terancam.
Beberapa orang linuwih memang berhasil membantai Si Gentho tapi sejenak kemudian ia rebah ke bumi, tubuh Gentho bangkit kembali. Kian hari, tindakan Gentho makin menjadi. Para Pamong Praja risih dengan kejadian tak mengenakkan dan tak bisa menyembunyikan peristiwa tersebut di hadapan Raja Surakarta yang tedhak di Ampel. Apalagi perjalanan Sinuwun sempat mengalami kendala di tanjakan menuju BonJeruk karena kereta kerajaan selip dan harus ditarik ke atas menggunakan ‘gladag’, tali yang biasa dipergunakan untuk menambat kapal besar. Sinuwun sendiri menyempatkan bertirakat memohon petunjuk dan memohon pertolongan pada Hyang Maha Agung. Bahkan membangun pesanggrahan. Di tempat itulah cikal bakal Desa Gladagsari.
Singkat cerita, hanya satu orang yang mampu melenyapkan nyawa Gentho untuk selama-
lamanya.
“Seorang pendekar? Seseorang itu mempunyai nama, kan?”
Terlihat, yang lain lebih sibuk ingin tahu pemandangan apa yang ada daripada mencari tau yang terjadi pada apa yang dipandang. Dan dia, yang paling perhatian dari yang lain tentang ceritamu bertanya hal yang tidak sepenuhnya kau pahami kebenarannya.
“Sebut saja Prasaja! Dia bukan seorang pendekar”
Sebagai kadang sepuh dari Sinuwun sendiri karena Den Mas Prasaja begitu ia biasa disapa, masih kerabat jauh menurut jalur keturunan ayah dan dekat dari jalur ibu, ikut turun tangan.
Seorang ahli sastra yang bertugas sebagai juru tulis di dalam istana. Beliau bergelar Raden Mas Ngabehi Wisastra. Beliau tidak asal bertindak karena sudah ada Angger Gunung untuk wilayah Ngampel yang mendapat limpahan tugas mengendalikan ketentraman. Angger Gunung tersebut tak lain ayah angkat Ramanya, Kamituwa. Dengan sepengetahuan dari Sinuhun Pakubuwono IX, Den Mas Prasaja bahu membahu mengatasi perbuatan Gentho yang sewenang-wenang.
Sebenarnya, keterlibatan Den Mas Prasaja karena gadis yang pernah ditunangkan dengannya dinodai oleh Gentho. Den Mas Prasaja sendiri baru saja beristri namun belum diboyong. Kalau Wiranti tidak berterusterang dengan perasaan cintanya, mungkin tidak akan ada peristiwa pembantaian tersebut.
Gentho tidak bakal berururusan dengan Den Mas Prasaja yang terkenal seorang alim yang lemah lembut. Tidak akan mungkin melenyapkan nyawa orang meski orang tersebut akan membunuhnya sekalipun. Pembawaannya yang tenang, tidak mudah terpancing amarahnya dan lebih banyak mengalah membuat Gentho segan padanya. Sedari mula bersua, Gentho pun bersikap hormat pada pemuda yang berbudhi luhur itu. Rara Wiranti yang batal dijodohkan dengannya akan dinikahkan dengan pemuda lain pilihan ortunya yang derajatnya dianggap melebihi Den Prasaja. Maklum, karena beliau sebelumnya pemuda sakit-sakitan yang terlihat dipingit di dalam rumah karena keadaannya. Saat pemutusan perjodohan itu, Den Prasaja dianggap pengangguran. Kerjanya hanya mengikuti kemana ayahnya pergi berdagang. Hal ini membuat Kanjeng Ramanya berang lantas membuat sandiwara dengan menculik Wiranti dan menempatkannya di dalam kamar berdua bersama putranya sendiri dalam keadaan mabuk akibat pengaruh racun kecubung.
Tidak terjadi apapun diantara keduanya yang sama-sama dalam keadaan tidak sadarkan diri. sampai Uwa Warsapati, ayah Wiranti mengetahui tindakan penculikan itu dan menemukan putrinya seranjang dengan Den Prasaja.
Tujuan penculikan itu hanya memberi pelajaran pada Uwa Warsapati yang mencoreng muka keluarganya maka Ayah Prasaja menandaskan bahwa tidak terjadi sesuatupun diantara keduanya meski tidur seranjang. Dan Uwa Warsapati langsung membawa putrinya pergi yang dalam keadaan tak sadarkan diri malah mengigau memanggil nama Den Prasaja dengan penuh rasa rindu.
Mereka tidak menyangka dalam perjalanan membawa Wiranti ke rumah, Warsapati dan anak buahnya dicegat gerombolan yang dipimpin Si Gentho. Sasaran Gentho memang Wiranti. Begitu mudahnya Gentho merampungi Uwa Warsapati dan para pengawalnya lalu melarikan Wiranti, gadis yang sudah lama diincarnya.
Perbuatan Gentho atas diri Wiranti diakuinya di hadapan Ayah Prasaja ketika ia berhasil dibekuk. Ia berhasil meloloskan diri dari pakunjaran sebelum diadili. Padahal dengan susah payah, ayah Prasaja bersama Angger Gunung melumpuhkan Gentho dan mengikatnya dengan tali janget. Si Gentho juga sesumbar ilmu bantala rukti yang dimilikinya akan mengekalkan hidupnya.
Bagaimanapun, Den Prasaja dan ayahnya merasa paling bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa keluarga Uwa Warsapati. Gentho diburu kembali. Kali ini dengan perintah langsung dari pamerintahan kasunanan yang menegaskan hukum pati bagi Gentho.
“Pelaksanaannya tepat pada hari Anggara Manis, malem Rabu Pahing!” tatapanmu lurus ke depan sedang yang paling perhatian akan ceritamu dahinya berkerut merut.
“Lagi-lagi wong Jawa menggunakan Primbon Neptu, Wuku...” pernyataan yang sepertinya perlu penjelasan dan kamupun menoleh ke arahnya sejenak.
“Tidak sadarkah kalau bangsa kita termasuk kaum pemikir!?” seulas senyum dan tanpa peduli tanggapan sebelahmu itu terus menjelaskan bahwa yang namanya hasil pemikiran itu bisa saja salah tak terkecuali perhitungan manusia.
Justru karena alam ini diciptakan dengan kebenaran perhitungan sedangkan insan mencoba memahaminya. Disitulah yang salah seumpama pada hitungan tersebut seseorang sedang berpantang melakukan sesuatu hajat padahal bisa diupayakan demi kebaikannya meski dengan laku lebih berat untuk mencapai maksudnya itu... Dia tercenung dan kamu meneruskan tanpa mengindahkannya sebab yakin anak itu masih mendengarkan ceritamu.
Den Prasaja mampu menjalin hubungan baik dengan Si Gentho bahkan berniat ingin bertobat sampai menjadikan beliau iba. Tapi Sang Rama dan Angger Gunung mengingatkan hukuman pati untuk si Gentho. Pada hari yang ditentukan itu, Gentho sedang bersenang-senang hingga membuat Den Prasaja berkeputusan mengakhiri semua ulah santri barunya itu. Kanjeng Ramanya dan Kamituwa mengawali tindakan dengan melumpuhkan Gentho. Den Prasaja baru bertindak setelah semua kewalahan menghadapi keganasan ilmu Gentho yang nggegirisi. Beliau bertindak sebagaimana Ki Juru Martani bagi Ki Ageng Sela dan Ki Gedhe Penjawi saat keduanya menghadapi Arya Penangsang pada peristiwa Bengawan Sore.
“Lalu siapa yang berperan sebagai Raden Sutawijaya? Senjatanya tombak Kiai Plered, kan?”
Tau saja anak itu padahal cerita yang sesungguhnya mungkin tidak akan sama persis. Terlihat kamu terdiam lama karena tidak ingin mengecewakan teman seangkatanmu yang semakin antusias itu. Alangkah tidak bijak jika ekspektasi yang meninggi itu terputus tiba-tiba.
Yang namanya maut, bila sudah waktunya tidak akan bisa dimajukan atau diundur. Sudah pepesthen, hari kematian Gentho yang kepergok gurunya sedang berbuat mesum. Sebagai guru, Den Prasaja masih mengingatkan namun suara-suara lain yang ikut mengeroyoknya membuatnya marah dan tidak lagi menghiraukan bahkan hampir membunuh guru dalam olah kajiwan tersebut. Tentu saja, perbuatannya itu bikin pengawal Den Prasaja dan yang bersamanya naik pitam.
Gentho berhasil dilumpuhkan kembali. Tapi setiap kali ditigas, anggota badannya yang terpotong menyatu kembali. Luka dari tembakan peluru emas juga pulih dalam hitungan detik. Mengingat keadaannya dan kepedulian gurunya menyadarkan Gentho. Setinggi apapun kelebihan yang dimiliki manusia pasti punya keterbatasan. Gentho menganggap Den Prasaja adalah ‘Satria Piningit’ yang dimaksud guru yang memberinya piyandel dan mengajarinya olah kanuragan. Ksatria itulah yang akan menamatkan riwayatnya.
Ksatria pinunjul ing apapak bukan karena ajian miliknya tetapi solah perbawa membuat musuh-
musuhnya takhluk. Sudah beberapa kali Gentho diyakinkan dengan kata-kata Den Prasaja yang langsung menusuk ke relung kalbunya setiap kali berhadapan. Kenyataan lainnya, Gentho menganggap bahwa Den Prasaja mengetahui pengapesannya. Pada hari Sarik Agung dimana Gentho telah melanggar wewalernya sendiri.
Di tengah kesakitan dan tenaganya yang terkuras habis, akhirnya Gentho mau memberitau bagaimana mencabut piyandel yang ada padanya hanya kepada Den Prasaja. Gentho meminta ibu jarinya dilukai dengan duri uwi gembili. Dalam keadaan sekarat, Gentho berterusterang bahwa merasa lelah dengan semua tindakannya.
Termasuk perbuatannya terhadap Rara Wiranti tak lain karena sakit hati terhadap lidah tajam gadis itu yang menyinggung harga dirinya. Sebelumnya, Gentho tidak berani kurang ajar sebab tau hubungan Wiranti dengan Den Prasaja. Apabila keluarga Wiranti tidak memutuskan tali perjodohan dengan keluarga Den Prasaja maka Gentho juga tidak akan mengusik gadis itu. Den Prasaja legeg dengan pengakuan Gentho. Sebelum ajalnya, Si Gentho sendiri meminta untuk dipisahkan antara kepala dan badannya lalu tidak boleh dibenamkan ke dalam tanah.
Gentho mengatakan bahwa jasad manusia nantinya akan kembali ke tanah termasuk dirinya. Semula, Gentho mengingkarinya namun setelah dirasanya maut akan menjemput jadi ingat asal mula jati dirinya yang sebenarnya. Gentho yakin bahwa Den Prasaja tau apa yang harus dilakukan pada jasadnya nanti jika sudah mati.
Yang namanya maut, bila sudah waktunya tidak akan bisa dimajukan atau diundur. Sudah pepesthen, hari kematian Gentho yang kepergok gurunya sedang berbuat mesum. Sebagai guru, Den Prasaja masih mengingatkan namun suara-suara lain yang ikut mengeroyoknya membuatnya marah dan tidak lagi menghiraukan bahkan hampir membunuh guru dalam olah kajiwan tersebut. Tentu saja, perbuatannya itu bikin pengawal Den Prasaja dan yang bersamanya naik pitam.
Gentho berhasil dilumpuhkan kembali. Tapi setiap kali ditigas, anggota badannya yang terpotong menyatu kembali. Luka dari tembakan peluru emas juga pulih dalam hitungan detik. Mengingat keadaannya dan kepedulian gurunya menyadarkan Gentho. Setinggi apapun kelebihan yang dimiliki manusia pasti punya keterbatasan. Gentho menganggap Den Prasaja adalah ‘Satria Piningit’ yang dimaksud guru yang memberinya piyandel dan mengajarinya olah kanuragan. Ksatria itulah yang akan menamatkan riwayatnya.
Ksatria pinunjul ing apapak bukan karena ajian miliknya tetapi solah perbawa membuat musuh-
musuhnya takhluk. Sudah beberapa kali Gentho diyakinkan dengan kata-kata Den Prasaja yang langsung menusuk ke relung kalbunya setiap kali berhadapan. Kenyataan lainnya, Gentho menganggap bahwa Den Prasaja mengetahui pengapesannya. Pada hari Sarik Agung dimana Gentho telah melanggar wewalernya sendiri.
Di tengah kesakitan dan tenaganya yang terkuras habis, akhirnya Gentho mau memberitau bagaimana mencabut piyandel yang ada padanya hanya kepada Den Prasaja. Gentho meminta ibu jarinya dilukai dengan duri uwi gembili. Dalam keadaan sekarat, Gentho berterusterang bahwa merasa lelah dengan semua tindakannya.
Termasuk perbuatannya terhadap Rara Wiranti tak lain karena sakit hati terhadap lidah tajam gadis itu yang menyinggung harga dirinya. Sebelumnya, Gentho tidak berani kurang ajar sebab tau hubungan Wiranti dengan Den Prasaja. Apabila keluarga Wiranti tidak memutuskan tali perjodohan dengan keluarga Den Prasaja maka Gentho juga tidak akan mengusik gadis itu. Den Prasaja legeg dengan pengakuan Gentho. Sebelum ajalnya, Si Gentho sendiri meminta untuk dipisahkan antara kepala dan badannya lalu tidak boleh dibenamkan ke dalam tanah.
Gentho mengatakan bahwa jasad manusia nantinya akan kembali ke tanah termasuk dirinya. Semula, Gentho mengingkarinya namun setelah dirasanya maut akan menjemput jadi ingat asal mula jati dirinya yang sebenarnya. Gentho yakin bahwa Den Prasaja tau apa yang harus dilakukan pada jasadnya nanti jika sudah mati.
Seperti pesannya sebelum meninggal, kepala dan badan Gentho dipisahkan. Semua dilakukan dengan cepat dan cermat. Bukan keluarga Den Prasaja yang melakukan tapi putra Demang Karangkopek. Kepalanya [ ndas ]dibenamkan di aliran sungai yang curam dan deras di dusun Mrawun. Tempat itu dinamakan ‘Jurang Endhas’.
Sedangkan gembung atau badannya dibenamkan di aliran sungai sekitar desa Kaligentong. Mungkin pula daerah tempuran sungai yang mengalir di desa Sampetan dan Urutsewu. Sebagai penanda, aliran sungai itu selalu diterangi lampu dan tempat itu dinamakan ‘Kali Panjer’ Siluman harimau putih, konon ikut moksa bersamaan dengan meninggalnya Si Gentho. Meski pernah didaulat oleh raja maling tapi desa dimana Gentho tinggal memang sejahtera [= sari]. Maka untuk menandai keberadaannya, dusun Karangkopek berganti nama menjadi Gentansari.
Cerita yang masih memunculkan teka-teki. Kini mereka berkumpul. Duduk melingkar menikmati berbagai minuman dan kudapan bersama-sama.. Yang tadinya asyik melihat-lihat, mulai nimbrung dengan pertanyaanpertanyaan menggelitik. Jika mereka mendengar di awal cerita tentang dukuh Karangkopek yang disatroni maling bernama Gentho maka mereka jadi bingung dengan pernyataanmu di bagian akhir tadi menyebut bahwa Karangkopek jadi sejahtera telah didaulat oleh raja maling.
Cerita yang masih memunculkan teka-teki. Kini mereka berkumpul. Duduk melingkar menikmati berbagai minuman dan kudapan bersama-sama.. Yang tadinya asyik melihat-lihat, mulai nimbrung dengan pertanyaanpertanyaan menggelitik. Jika mereka mendengar di awal cerita tentang dukuh Karangkopek yang disatroni maling bernama Gentho maka mereka jadi bingung dengan pernyataanmu di bagian akhir tadi menyebut bahwa Karangkopek jadi sejahtera telah didaulat oleh raja maling.
Kamu mengeluarkan agenda dan menyerahkannya pada salah seorang temanmu dengan lembaran yang terbuka. Dia mengamatinya sebentar lalu berdehem-dehem. Mencari nada yang pas untuk memulai. Semua, termasuk diriku larut takzim mendengar lantunan syair nan penuh makna :
Dhandhanggula
Semut ireng ngendhog jroning geni
Dhandhanggula
Semut ireng ngendhog jroning geni
Ana merak bandrek lawan baya
Keyong sakenong matane
Tikus padha ngidung
Kucing gering ingkang nunggoni
Kodhok nawu segara oleh bantheng sewu
Ketapang angrangsang arga
Semut angrang angrangsang gunung merapi
wit ranti uwoh dlima...
#anggitan RN. Ranggawarsita
Kamu melanjutkan ceritamu yang bisa dibilang telah selesai namun menimbulkan penasaran. Bahwa syair tembang macapat yang baru mereka dengar adalah sanepa dari keadaan masyarakat dan pamerintahan saat itu. Bahwa antara pujangga dan rajanya sedang terjadi perselisihan.
Hubungan rakyat dengan penguasa dipenuhi pamrih. Akibat taktik adu domba yang dilancarkan Penjajah Kompeni. Pengaruhnya sampai ke tingkat-tingkat desa. Lingkungan yang meluas di luar kotaraja termasuk dusun Karangkopek. Masing-masing mengetahui taktik itu dan berusaha menanggulangi. Sayangnya, tidak sembarang pribadi menyadari telah ikut terhasut.
Bisa jadi, Si Gentho merupakan pemimpin yang terkena hasutan penjajah. Kekuasaan yang dimilikinya disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Demi kepentingan penjajah bukan bumi pertiwi dimana ia berpijak. Peradilan tidak sanggup menghadapinya dan akhirnya dipilihlah kekuasaan yang membayanginya. Gentho dibunuh.
Fakta yang terjadi pada jaman yang diperkirakan bertepatan, bahwa Dusun dimana Gentho berkuasa aman sejahtera sementara di dusun lain dijarahrayah. Di belakang kawedanan, tepatnya di AmpelDenta, sebelah utara Karangkopek, didirikan benteng pertahanan penjajah. Di hari kemudian karena berkobar semangat perjuangan, mes-mes yang telah berdiri itu beralih fungsi menjadi Sekolah Rakyat.
Bisa juga posisi Gentho sebagai penguasa begitu kuat padahal ada kepentingan politik yang lebih besar jika posisi tersebut tidak ada. Maka diputuskan posisi tersebut ditiadakan dan Gentho itulah yang di posisi yang dimaksud kemudian disingkirkan. Persis perumpamaan kisah Bengawan Sore yang kau singgung tadi.
Versi lainnya adalah Gentho merupakan penganut ajaran Syekh Siti Jenar pada jaman Wali Sanga masih sugeng. Ajarannya dianggap sesat karena konsep Makrifatullah [mengenal ALLAH] dengan mengenal diri sendiri yang pada jaman itu bisa disalahartikan menuhankan diri sendiri. Ilmu yang berpeluang menyesatkan ini dipelajari Gentho hingga ia bisa menjadikan dirinya tidak mati meskipun kepalanya terpisah dari badannya bila menyentuh tanah.
Sebenarnya, Gentho telah mencapai kesempurnaan ilmu karena percaya bahwa yang mematikan adalah Hyang Menciptakan dirinya yaitu ALLAH bukan manusia yang membunuhnya. Manusia hanya sebagai lantaran. Den Prasaja tau hal tersebut dan Gentho juga berpendapat bahwa selama ia masih percaya bahwa tiada Tuhan selain ALLAH. dan selagi ia masih berada dalam ilmunya yang tertinggi yakni selalu ingat bahwa yang hidup pasti akan mati, Gentho memilih alam kelanggengan sebelum hatinya berbolakbalik. Gentho sempat mengalami perubahan wujud [belangbeling] karena pergolakan hatinya hingga tempat dimana ia dieksekusi dinamai dukuh ‘Mbelang’.
“Seberapa tajam lidah Rara Wiranti mengoyak harga dirinya sebagai seorang laki-laki yang punya kuasa dan kemampuan yang melebihi orang kebanyakan hingga menimbulkan dendam? “
Pertanyaan kritis tersebut malah kamu buat sebagai bahan diskusi bersama. Beragam jawaban yang dapat diseragamkan bahwa lidah tajam pastilah kata-kata yang melukai hati. Seumpama paku yang tertancap pada dinding meskipun sudah dicabut tentu masih meninggalkan bekas lubang paku yang menganga.
Kepuasan mendengar ungkapan jawaban dari teman-temanmu menambah pemahaman baru bagimu. Bahwa bisa saja ada hubungan antara Gentho dengan Rara Wiranti mengingat Den Prasaja jarang keluar rumah termasuk menemui Rara Wiranti. Kemungkinan, Rara Wiranti tipe wanita yang supel. agresif, dan periang tentu mudah menjalin pertemanan dengan siapapun termasuk Gentho yang sudah lama punya rasa pada gadis itu. Bila kesepian, tentu Gentho menyediakan dirinya untuk menemani Wiranti. Namun, Wiranti hanya menganggap Gentho sebagai teman. Gentho bisa menerima kenyataan itu apalagi mengingat keadaan dirinya yang melarat dan tak berpangkat. Karena rasa cintanya dan sebagai upaya membuktikan Gentho bisa kaya dan berpangkat dengan menjadi bromocorah.
“Lantas, mengapa dipilih aliran sungai Jurang Ndas dan Kali Panjer sebagai tempat membenamkan jasad Gentho? Bukan karena kebetulan kan?” salah seorang bertanya.
“Mari kita kembali pada kisah sebelumnya! Mengingat kembali bahwa Rara Wiranti menanggung malu karena perbuatan Gentho”
Rara Wiranti tewas, nglalu dengan menceburkankan diri ke dasar jurang itu. Mengetahui perihal itu, Gentho ingin menebus dosa pada gadis itu.
Kenyataan lainnya bahwa di tempat yang jarang dan sulit dilalui orang biasa itu, ibunya diperdaya lelaki hingga menjadi sebab ia terlahir ke dunia. Ibunya dinikahkan dengan lelaki lain yang bukan ayahnya sampai Gentho lahir. Sebagai anak kowar, perikehidupan Gentho tidak akan terangkat bila tidak dipupu oleh keluarga Demang yang tidak dikaruniai anak. Ki Demang itu yang menikahi ibunya. Sudah menjadi rahasia umum Ki Demang memiliki anak yang bukan darah dagingnya sendiri dan bukan hanya Gentho seorang. Perselingkuhan yang dijabani oleh seorang suami pada istrinya untuk memperoleh keturunan dan diakui sebagai anak sendiri. Jamu dong lingga yang lumrah dilakonin sejak jaman dulu.
Rasa sakit hati akibat kehadirannya yang sebenarnya tak diinginkan sekaligus pilihan hidup yang dijalani ibunya membuat tingkah Gentho mudah berubah-ubah. Kadang baik penuh kasih tapi tak jarang pula Gentho menjadi orang yang kasar dan pemberang. Nyaris tidak punya perikemanusiaan. Perilaku menyimpang itu kambuh ketika Wiranti menolak lamarannya begitu tau orangtuanya memutus tali perjodohan dengan Den Prasaja. Wiranti mengungkit masa lalunya yang kelam tersebut sehingga dijadikannya alasan bahwa Gentho tidak layak bersanding dengannya.
Bagi Gentho kepalanya sudah dianggap musuh bagi dirinya sendiri. Sepasang mata yang digunakan untuk memandang telah silau dengan kecantikan Wiranti. Sampai Gentho tega menjarah ladang yang belum halal untuknya. Pikiran busuk dari otak yang berada dalam isi kepalanya yang mempengaruhi tindakannya. Gentho tidak mengindahkan isi hatinya. Memang kepala berada diatas yang artinya berpikir dulu sebelum bertindak. Namun ego dan nafsu Gentho melumpuhkan pemikirannya hingga jatuh ke bawah bahkan lebih rendah dari telapak kakinya yakni syahwat yang belum halal. Perbuatannya tersebut lebih rendah dari kelakuan binatang yang memang tak dibatasi aturan. Jika Gentho menginginkan kepala dan hatinya terpisah, itulah alasannya.
Cerita tadi juga mengungkap kalau pelaku mutilasi jasad Gentho dilakukan Anak Demang Karangkopek. Ada kemiripan dengan kisah pewayangan Sugriwa dan Subali bersaudara yang bermusuhan memperebutkan takhta dan wanita. Bedanya, Gentho dan Anak Demang Karangkopek itu saudara seibu. Anak Demang Karangkopek tersebut bersih dari kelakuan jahat yang digadang-gadang menggantikan kalungguhan ayahnya.
Panjer yang bisa diartikan suatu cahaya terang. Badan Gentho yang memuat organ hatinya melambangkan jati dirinya yang murni dibenamkan di Kali dimana tempat itu yang dipilihnya untuk menyepi semenjak menjadi murid Den Prasaja. Merenungi dirinya sendiri. Menyatu dengan alam sekitarnya. Menjadi bagian dari apa yang ada di sekelilingnya hingga merasa dirinya begitu kecil diantara makhluk-makhluk lainnya. Disitulah ia menemukan dirinya kembali. Gentho bisa mendengar kata hatinya. Sanubarinya yang suci dengan menanggalkan semua apa yang dimilikinya yang bersifat keduniawian. Jasad yang tak berkepala tersebut dibenamkan di aliran sungai dalam keadaan bertapa.
Mungkin nama yang mirip untuk kisah Gentho yang suka bertirakat, menyendiri, atau bersemedi ini sama dengan tokoh ‘Joko Genthong’ yang menjadi kisah legenda terjadinya Desa Kaligenthong. Perwujudan bentuk genthong sendiri mirip badan manusia yang bersemedi tanpa kepala. Gentho berharap jasadnya yang telah mati berguna menjadi pengingat bagi generasi sesudahnya.
“Sampai saat ini, kita perlu bersyukur sebab alam ini masih langgeng. Bukan tidak mungkin situs abadi ini akan musnah... Penghuni yang bernama manusia mengukuhkan keberadaannya dengan sampah yang berserakan. Mengganti yang bernyawa dengan benda tak bernyawa...”
Kamu melanjutkan ceritamu yang bisa dibilang telah selesai namun menimbulkan penasaran. Bahwa syair tembang macapat yang baru mereka dengar adalah sanepa dari keadaan masyarakat dan pamerintahan saat itu. Bahwa antara pujangga dan rajanya sedang terjadi perselisihan.
Hubungan rakyat dengan penguasa dipenuhi pamrih. Akibat taktik adu domba yang dilancarkan Penjajah Kompeni. Pengaruhnya sampai ke tingkat-tingkat desa. Lingkungan yang meluas di luar kotaraja termasuk dusun Karangkopek. Masing-masing mengetahui taktik itu dan berusaha menanggulangi. Sayangnya, tidak sembarang pribadi menyadari telah ikut terhasut.
Bisa jadi, Si Gentho merupakan pemimpin yang terkena hasutan penjajah. Kekuasaan yang dimilikinya disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Demi kepentingan penjajah bukan bumi pertiwi dimana ia berpijak. Peradilan tidak sanggup menghadapinya dan akhirnya dipilihlah kekuasaan yang membayanginya. Gentho dibunuh.
Fakta yang terjadi pada jaman yang diperkirakan bertepatan, bahwa Dusun dimana Gentho berkuasa aman sejahtera sementara di dusun lain dijarahrayah. Di belakang kawedanan, tepatnya di AmpelDenta, sebelah utara Karangkopek, didirikan benteng pertahanan penjajah. Di hari kemudian karena berkobar semangat perjuangan, mes-mes yang telah berdiri itu beralih fungsi menjadi Sekolah Rakyat.
Bisa juga posisi Gentho sebagai penguasa begitu kuat padahal ada kepentingan politik yang lebih besar jika posisi tersebut tidak ada. Maka diputuskan posisi tersebut ditiadakan dan Gentho itulah yang di posisi yang dimaksud kemudian disingkirkan. Persis perumpamaan kisah Bengawan Sore yang kau singgung tadi.
Versi lainnya adalah Gentho merupakan penganut ajaran Syekh Siti Jenar pada jaman Wali Sanga masih sugeng. Ajarannya dianggap sesat karena konsep Makrifatullah [mengenal ALLAH] dengan mengenal diri sendiri yang pada jaman itu bisa disalahartikan menuhankan diri sendiri. Ilmu yang berpeluang menyesatkan ini dipelajari Gentho hingga ia bisa menjadikan dirinya tidak mati meskipun kepalanya terpisah dari badannya bila menyentuh tanah.
Sebenarnya, Gentho telah mencapai kesempurnaan ilmu karena percaya bahwa yang mematikan adalah Hyang Menciptakan dirinya yaitu ALLAH bukan manusia yang membunuhnya. Manusia hanya sebagai lantaran. Den Prasaja tau hal tersebut dan Gentho juga berpendapat bahwa selama ia masih percaya bahwa tiada Tuhan selain ALLAH. dan selagi ia masih berada dalam ilmunya yang tertinggi yakni selalu ingat bahwa yang hidup pasti akan mati, Gentho memilih alam kelanggengan sebelum hatinya berbolakbalik. Gentho sempat mengalami perubahan wujud [belangbeling] karena pergolakan hatinya hingga tempat dimana ia dieksekusi dinamai dukuh ‘Mbelang’.
“Seberapa tajam lidah Rara Wiranti mengoyak harga dirinya sebagai seorang laki-laki yang punya kuasa dan kemampuan yang melebihi orang kebanyakan hingga menimbulkan dendam? “
Pertanyaan kritis tersebut malah kamu buat sebagai bahan diskusi bersama. Beragam jawaban yang dapat diseragamkan bahwa lidah tajam pastilah kata-kata yang melukai hati. Seumpama paku yang tertancap pada dinding meskipun sudah dicabut tentu masih meninggalkan bekas lubang paku yang menganga.
Kepuasan mendengar ungkapan jawaban dari teman-temanmu menambah pemahaman baru bagimu. Bahwa bisa saja ada hubungan antara Gentho dengan Rara Wiranti mengingat Den Prasaja jarang keluar rumah termasuk menemui Rara Wiranti. Kemungkinan, Rara Wiranti tipe wanita yang supel. agresif, dan periang tentu mudah menjalin pertemanan dengan siapapun termasuk Gentho yang sudah lama punya rasa pada gadis itu. Bila kesepian, tentu Gentho menyediakan dirinya untuk menemani Wiranti. Namun, Wiranti hanya menganggap Gentho sebagai teman. Gentho bisa menerima kenyataan itu apalagi mengingat keadaan dirinya yang melarat dan tak berpangkat. Karena rasa cintanya dan sebagai upaya membuktikan Gentho bisa kaya dan berpangkat dengan menjadi bromocorah.
“Lantas, mengapa dipilih aliran sungai Jurang Ndas dan Kali Panjer sebagai tempat membenamkan jasad Gentho? Bukan karena kebetulan kan?” salah seorang bertanya.
“Mari kita kembali pada kisah sebelumnya! Mengingat kembali bahwa Rara Wiranti menanggung malu karena perbuatan Gentho”
Rara Wiranti tewas, nglalu dengan menceburkankan diri ke dasar jurang itu. Mengetahui perihal itu, Gentho ingin menebus dosa pada gadis itu.
Kenyataan lainnya bahwa di tempat yang jarang dan sulit dilalui orang biasa itu, ibunya diperdaya lelaki hingga menjadi sebab ia terlahir ke dunia. Ibunya dinikahkan dengan lelaki lain yang bukan ayahnya sampai Gentho lahir. Sebagai anak kowar, perikehidupan Gentho tidak akan terangkat bila tidak dipupu oleh keluarga Demang yang tidak dikaruniai anak. Ki Demang itu yang menikahi ibunya. Sudah menjadi rahasia umum Ki Demang memiliki anak yang bukan darah dagingnya sendiri dan bukan hanya Gentho seorang. Perselingkuhan yang dijabani oleh seorang suami pada istrinya untuk memperoleh keturunan dan diakui sebagai anak sendiri. Jamu dong lingga yang lumrah dilakonin sejak jaman dulu.
Rasa sakit hati akibat kehadirannya yang sebenarnya tak diinginkan sekaligus pilihan hidup yang dijalani ibunya membuat tingkah Gentho mudah berubah-ubah. Kadang baik penuh kasih tapi tak jarang pula Gentho menjadi orang yang kasar dan pemberang. Nyaris tidak punya perikemanusiaan. Perilaku menyimpang itu kambuh ketika Wiranti menolak lamarannya begitu tau orangtuanya memutus tali perjodohan dengan Den Prasaja. Wiranti mengungkit masa lalunya yang kelam tersebut sehingga dijadikannya alasan bahwa Gentho tidak layak bersanding dengannya.
Bagi Gentho kepalanya sudah dianggap musuh bagi dirinya sendiri. Sepasang mata yang digunakan untuk memandang telah silau dengan kecantikan Wiranti. Sampai Gentho tega menjarah ladang yang belum halal untuknya. Pikiran busuk dari otak yang berada dalam isi kepalanya yang mempengaruhi tindakannya. Gentho tidak mengindahkan isi hatinya. Memang kepala berada diatas yang artinya berpikir dulu sebelum bertindak. Namun ego dan nafsu Gentho melumpuhkan pemikirannya hingga jatuh ke bawah bahkan lebih rendah dari telapak kakinya yakni syahwat yang belum halal. Perbuatannya tersebut lebih rendah dari kelakuan binatang yang memang tak dibatasi aturan. Jika Gentho menginginkan kepala dan hatinya terpisah, itulah alasannya.
Cerita tadi juga mengungkap kalau pelaku mutilasi jasad Gentho dilakukan Anak Demang Karangkopek. Ada kemiripan dengan kisah pewayangan Sugriwa dan Subali bersaudara yang bermusuhan memperebutkan takhta dan wanita. Bedanya, Gentho dan Anak Demang Karangkopek itu saudara seibu. Anak Demang Karangkopek tersebut bersih dari kelakuan jahat yang digadang-gadang menggantikan kalungguhan ayahnya.
Panjer yang bisa diartikan suatu cahaya terang. Badan Gentho yang memuat organ hatinya melambangkan jati dirinya yang murni dibenamkan di Kali dimana tempat itu yang dipilihnya untuk menyepi semenjak menjadi murid Den Prasaja. Merenungi dirinya sendiri. Menyatu dengan alam sekitarnya. Menjadi bagian dari apa yang ada di sekelilingnya hingga merasa dirinya begitu kecil diantara makhluk-makhluk lainnya. Disitulah ia menemukan dirinya kembali. Gentho bisa mendengar kata hatinya. Sanubarinya yang suci dengan menanggalkan semua apa yang dimilikinya yang bersifat keduniawian. Jasad yang tak berkepala tersebut dibenamkan di aliran sungai dalam keadaan bertapa.
Mungkin nama yang mirip untuk kisah Gentho yang suka bertirakat, menyendiri, atau bersemedi ini sama dengan tokoh ‘Joko Genthong’ yang menjadi kisah legenda terjadinya Desa Kaligenthong. Perwujudan bentuk genthong sendiri mirip badan manusia yang bersemedi tanpa kepala. Gentho berharap jasadnya yang telah mati berguna menjadi pengingat bagi generasi sesudahnya.
“Sampai saat ini, kita perlu bersyukur sebab alam ini masih langgeng. Bukan tidak mungkin situs abadi ini akan musnah... Penghuni yang bernama manusia mengukuhkan keberadaannya dengan sampah yang berserakan. Mengganti yang bernyawa dengan benda tak bernyawa...”
Engkau sengaja bergumam demikian untuk menyindir temantemanmu yang terlihat mulai berbuat sembrono terhadap sampah-sampah yang dihasilkannya sendiri. Setelah beres lantas berlalu dengan teman-
temanmu. Tapi..
temanmu. Tapi..
Hei!..
Apa kau akan kembali lagi kemari?
H E I !..
Kau dan teman-temanmu sudah tak mengindahkanku lagi.
Apa kau akan kembali lagi kemari?
H E I !..
Kau dan teman-temanmu sudah tak mengindahkanku lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar