Minggu, 23 Agustus 2015

Ketika Nomer Seluler Itu Tersambung

Karya fiksi yang terangkai karena galau dengan nope tanpa nama. Memang, mulanya aku enggan menyebut nama lengkapku tapi diriku bukan tipe orang yang suka menyembunyikan identitas [eh?]!? >o<
Pengalaman tak mengenakkan dengan nomer geje alias 'ndak jelas.
Lha wong, nope Presiden saja pake name tag... Mosok mau kenalan malah ngirim tanpa nama?atau cuman mau ngerjain?
  • Sungguh,
menghadapi
orang yang sombong  tapi terkesan rendah hati
itu menyebalkan!
'Wis ora cetha tenan?
Nyadar kalo pelupa...
Lha wong, ponakan sendiri aja kadang lupa namanya >_<
 jadi mengenal seseorang itu bukan melulu mengingat wajah dan namanya tapi juga mengingat momen atau sesuatu yang berkaitan dengannya...
Nope tanpa nama bikin aku jealous dan akhirnya sering mengabaikan nope-nope geje tersebut... He.. he... aku juga males nanggepin sms  atau calling 'nggak penting... Buang-buang waktu, TAU!!!
Nah,
Pas di radio fave-ku lagi ngadain lomba Cerpen Penyejuk Hati 2010[kalau nggk salah] disamping ngirim Lomba Cipta Senandung Penyejuk Hati juga.. Enggak menang, sih..  tapi kegalauanku terobati karena tertuang uneg-unegku dalam cerpen ini.
Lagu tema yang hapening  bagiku adalah nasyid evergreen dari Suhaimi bercerita tentang Cinta Siti Zulaikha pada Nabi Yusuf 'AlayhisSalam.. dengan irama padang pasir. Mangkanya  cerpen ini  menjumput pengaruh dari lirik nasyid Suhaimi itu...

Uneg-uneg mengenai nope geje ini juga tersalurkan dalam blog berjudul 'Menjemput Pelangi' yang menembus 50 besar. 
***

GEMERETAK gigi yang hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Disini, udara dingin menyusup merasuk dalam rasa takut. Hambatan ilalang yang tak terasakan menggores kulit tangannya saat menyibak rumput liar tinggi, ramping, sesemampai sosok tubuh yang melewatinya dengan tergesa. Duri pun tak dianggap ikut menelusup  diantara kelemahan dan kekuatan. Letih tak  dihiraukan meski tapak kakinya terus terayun menerjang gelapnya alas jati. Langkah cepat kadang pula berlari tiada henti menghamburkan nafas tersengal-sengal.
    Menyesal sekarang tiadalah berguna. Suatu nasehat agar tidak sendirian di tempat asing sempat diindahkannya. Bukan! Ia mencari, kok! Hanya, tak ada yang bisa menemani dalam menjalani tugasnya. Namun dalam kesendirian, ia percaya… ALLAH bersamanya. Sang Bunda pun melepas kepergiannya dengan berat hati. Dan memberi pesan untuknya agar berhati-hati, menjaga diri. Tak peduli apa yang telah menimpanya, pokoknya ia harus berlalu.
    Tidak peduli siapa dirinya kini tidak pula mengenali gambaran  masa kecilnya yang indah, dulu. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah bagaimana berusaha menghindari, menjauh, dan terus meninggalkan semua yang ada dibelakang sana, meski sendiri, sepi, tidak peduli!...
   
    Dilain sisi,  gemertak geraham penuh amarah memacu. Sampai tak tersadar keresahan hati yang menjelma dendam. Segala hikmah hanya dianggap tantangan yang menimbulkan gejolak kemarahan. Sasaran di depan sana berkelebat menimbulkan niatan buruk. Keindahan pun hilang dari rasa cinta sesungguhnya menjadi benci hingga mampu melumatkan asa sama sekali. Kasih sayang menawan membakar bara permusuhan. Tidak ada hal lain yang dipikirkan Galang, pemuda yang sedang dilanda asmara ini, hanyalah 'ingin mendapatkan' apapun yang terjadi. Meski,  hal tersebut berupa rasa penasaran semua bala pengawalnya ia kerahkan,  semua demi kesenangan, semua diabaikan, pers****!!!
    Benarkah kenangan indah baginya dan 'dia' terhapus begitu saja?
Dahulu, seperti halnya semua orang mengukir sejarah. Dimana mereka tumbuh dalam kebersamaan, saling berbagi suka dan duka. Namun, seiring kedewasaan tumbuhnya fitrah  pada sesamanya. Ya!...  rasa cinta!
    Pengajaran hidup ikut menempa mereka membedakan pengertian tentang 'rasa' itu. Galang terlalu ambisius, terbiasa dengan terpenuhinya segala keinginan. Tak ada peluang untuk menolelir ketidakmampuan karena semua pasti sanggup. Pantang untuk merubah keputusan, bila 'ya' harus terlaksana, dan jika 'tidak' jelas tersingkir dari hadapan dan segera dilakukan sesuai dengan apa yang dimaksudkannya seketika itu juga. Kekerasan akhirnya jadi perangainya. Yang mampu bersamanya hanya yang berkeinginan terhadap materi atau keterpaksaan menjadi budaknya... Menyedihkan!
    Galang tak memahami  gadis yang menawan hatinya tengah berupaya memerdekakan dirinya dari segala hawa nafsu yang memburu. Ia lenyapkan belenggu  'cinta' itu dengan membasuhnya dalam telaga kenikmatan 'penghambaan' diri pada Sang Pencipta. Memberinya arti cinta yang sejati. Makna kasih sayang yang sebenar-benarnya. Seluas jagat raya seisinya. Seindah ciptaan yang sempurna nan menakjubkan.  Hingga mampu menumbuhkan empati ’rasa’ itu terhadap sesamanya dan lingkungan sekitarnya. Bukan kemustahilan bila ARRAHMAN ARRAKHIM  menebarkan kasih sayang-NYA. Sasikirana pun  mengukuhkannnya  dalam ikatan ukhuwah.
    Hal yang ingin dijalin juga oleh Alifah. Sebenarnya, sudah lama keinginan itu muncul, semenjak ia kenal seorang Sasikirana. Dan, ia ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Sebelum mereka bertemu muka kembali untuk  mengikuti kajian bulanan. Toh, belum tentu juga mereka bisa bersua lagi. Memangnya, siapa yang tahu apa yang  akan terjadi nanti?
    Kesempatan itupun datang juga. Saat ia mendapatkan nomer telephon selulernya dari catatan daftar Dialled number di ruang kerjanya. Bimbang juga, apakah cara ini bisa dibenarkan? Bukankah ukhuwah itu tiada berkesudahan? Tak apalah kalo sekedar memberi ‘kejutan’ dengan meneleponnya. Tak mengapa, jika Alifah memperkenalkan nomer selulernya terlebih dahulu, tanpa  nama! Alifah sering melakukannya, bukan hanya dengan Sasikirana saja... just, enjoy with  this pleasure!  Kebetulan, Sasikirana belum tau nomer hp-nya, dan sebaris sms disiapkannya... Jenuh! kar'na tiada berbalas. Misscall pun jadilah, yah… tidak ada tanggapan sama sekali. Ia berharap, orang yang ia beri kejutan menyambut dengan senang! Akhirnya terbesit keinginan menelphon langsung dan bicara dengan yang bersangkutan. Sesuatu hal terjadi, diluar dugaannya sama sekali! Nomer hp- yang ia tuju tersambung!
    Salamnya tak diganti! Awal sapaannya tak bersambut baik... Malah, sebuah teriakan? Ya... kata-kata berintonasi tinggi! Alifah tak mampu menjauhkan alat komunikasi itu dari telinganya. Tangannya terasa bergetar, menempel di gendang pendengarannya dengan menggenggam ponsel. Tiba-tiba saja, rahangnya mengejang, tenggorokannya terasa sakit, wajahnya panas.
    "Aku tidak akan biarkan ragaku terjamah oleh seseorang yang tidak halal bagiku!!!"
Alifah jelas mengenal suara itu. apa dia tengah mendengar sebuah drama yang sedang dimainkan? kalau benar sandiwara, mengapa Alifah jadi seperti ini?
    "Sucikah dirimu, jika nyawamu melayang, sedang ragamu tak berdaya, terkoyak-koyak? Apa yang bisa kau bela, Ha? Gunakan penolakanmu untuk meronta dalam dekapanku! Karena aku suka itu!"
Astaghfirullah! Ihh, suara laki-laki itu tak kalah lantangnya. Suara itu terdengar menjijikkan. Berkali-kali Alifah menggelengkan kepalanya, seolah ingin tersadar dari halusinasi, segera terbangun dari mimpi, keluar dari angan-angan tak berarti. Mengapa hal ini bisa ia dapati? Orang-orang di sekitarnya pun ingin tau apa yang tengah Alifah alami.
    "S-A-S-I-K-I-R-A-N-A!... “ teriakan Alifah sama sekali tidak terdengar oleh yang dipanggil. Bahkan Sasikirana tidak tau nomer hp-nya tersambung dengan nomer hp Alifah, kenalan yang ia niatkan untuk bertemu ahad depan.
    Sasikirana terhunus pisau Galang yang digunakannya untuk menakut-nakuti.  Galang tak mengerti, benarkah pisau itu terlempar dari tangannya? Atau disebabkan karena luapan kemarahan akibat ditolak? Sungguh, bukan seperti ini yang Galang inginkan!  Semua diluar kehendaknya.
    Terlambat sudah penyesalan! Perlahan, gadis dambaan hatinya, terkulai. Seketika rasa takut menjalari. Tak ada niatan untuk menolong, hal yang diutamakan dalam kepanikan saat itu adalah melarikan diri. Sebelum kepergok oleh orang-orang kampung dari tegalan mereka, yang pulang ke rumah masing-masing.  Hal yang sama dilakukan oleh bala kurawa-nya. Untuk beberapa saat mereka tertegun oleh ketangguhan seorang gadis yang mereka kira sangat mudah diperdayai, ternyata mampu mempertahankan diri sampai titik darah penghabisan sekalipun. Mereka yang ikut mengeroyok, mematung di tempatnya berdiri, terkesima akan keteguhan hati gadis rupawan yang lebih memilih kehormatannya terjaga itu. Rupanya, Yang Maha Kuasa tidak mengizinkan sama sekali untuk sekedar  menyentuh kulitnya.  
    "Ya.. ALLAH Yang Maha Pelindung, lindungi hamba dari godaan syaitan yang terkutuk.. Ya Rakhman, Lindungi hamba dari perbuatan keji dan munkar... LA ILLA HA ILALLAH.. Muhammadur Rasulullah..." tiada henti desis diantara bibir Sasikirana melafalkan hingga hembusan nafas terakhirnya. Perlahan mata seorang gadis yang penuh kepasrahan diri kepada ROBB-nya itu menutup, tersungging senyuman mengukir hiasan pada parasnya yang cantik... Innalillahi Wainna Ilaihi roji'uun...
    “Sayang! Pelita hati, harapan Ayah dan Bunda! Sang KHALIQ Berkuasa   Memanggilmu mendahului kami! Semoga Khusnul Khatimah yang kaudapati dan berkenan mempertemukan kita di jannah-NYA nanti… AMIN YA ROBBAL’ALAMIN!” doa perpisahan , tulus di sanubari untuk Sang buah hati. Andai kemarin, Bunda tak memberi dia ijin untuk pergi, pasti semua ini tak akan terjadi. Yang pergi takkan kembali, dan inilah taqdir ILAHI. Hati boleh sedih, tapi mulut hanya berupaya berucap apa yang ALLAH sukai.
    Tiada lagi sapaan hangat darinya ke alam, ke sahabat serupa limpahan kasih sayang Ayah dan Bunda pada putri semata wayang mereka. Tentang impian yang ingin diraihnya untuk berawalan, dengan proses, dan akhiran selalu dalam kebaikan? Lalu, bagaimana dengan akhir hidupnya yang tragis? Ah, mana mungkin terpancar kebahagiaan pada wajah indah itu dalam tidur panjangnya? Bahkan, aroma semerbak harum tak lekang menemaninya.  Setetes  demi setetes merah merona  dari bekas luka, mengalir segar, perlahan, menghilang ke bumi dimana ia terbaring dalam kedamaian, disitu pula  ia disemayamkan  dengan penuh khidmad oleh mereka yang mengenalnya erat penuh ketaqwaan dan ketaatan pada ILLAHI ROBBI.
    Rekaman dari ponsel kedua sahabat itu  menjadi bukti. Persangkaan warga setempat mengarah pada pemuda yang selalu menjadi biang keonaran  di desa tersebut. Mungkin Galang bisa bersembunyi dari kejaran aparat keamanan, namun  ternyata tidak bisa melepaskan diri dari rasa bersalah yang terus membayangi dalam setiap langkahnya. Ia bisa melepas persoalan hidupnya  dengan melarikan diri. Bagaimanapun, semakin jauh ia telah berpaling malah semakin membuat dunianya terasa sempit. Mungkin, untuk beberapa saat, Galang bisa  mengelabui perbuatannya dari manusia ataupun makhluk, Jujur, sama sekali ia tidak bisa membuat tipuan di hadapan ALLAH. Setiap perbuatan tidak pernah luput dari pantauan Yang Maha Melihat.
    Galang tidak tahu bagaimana cara memperbaiki diri. Mentalnya terlalu lemah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia terlalu phobia untuk mengakui kesalahannya sendiri. Tak ada yang bisa diharapkan dari kehidupannya saat timah panas Polisi melesat menembus benteng ketakutan yang melingkupinya. Peluru yang menyerang tepat ke dada, pelipis, dan kaki sekaligus, akhirnya melumpuhkan perlawanannya. Semua sudah melalui prosedur pihak yang berwajib dalam upaya pengejaran terhadap pelaku kejahatan. Tembakan peringatan tiga kali, tidak digubris, malah kabur. Ketika hendak meringkus, buronan itu sempat melawan dengan pistol rakitan. Tidak ada pilihan lain bagi Polisi mempertahankan diri selain menembak mati buruannya.
    Dan Alifah tersadar, ALLAH telah memberinya peringatan atas kejahilannya. Walaupun dengan  kebiasaannya itu, ia tidak merasa merugikan siapapun. Apa yang ia khawatirkan tidak pernah terwujud, karena DIA Berkenan menyembunyikan tabiatnya dari orang-orang, seolah tidak memperdulikan lagi hal remeh temeh seperti itu. Justru hal yang tidak ingin dia ketahui lebih lanjut yaitu display name pada hp-nya Sasikirana untuk nomer hp miliknya  adalah ‘No Name’…


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar