Minggu, 23 Agustus 2015

Nyekar Sebatang Pohon

Pernah diikutkan dalam Kompetisi Tulis Nusantara.  Harapan terpendam menjadikan halaman rumah yang dititpkan ALLAH pada hamba-Nya ini menjadi suaka alam...

GALAH bambu itu mengarah ke ranting  pohon asam yang rimbun. Sepasang mata  yang sedari tadi mengamati tingkah polah beberapa anak mulai bergeming. Sejak anak-anak sepermainan itu datang  meminta ijin memetik buah jambu sukun  yang sedang lebat-lebatnya berbuah di halaman depan rumah,  penglihatan mata yang tajam mengikuti langkah mereka tanpa mereka sadari. Seolah-olah setiap jengkal tanah akan dijaganya dari tindak angkara murka.
“Sarang burung itu memang dipelihara disitu dan jangan diusik!”  suara yang lantang  itu menggema cukup untuk membuat semua anak itu termangu-mangu. Tak perlu mencari asal suara, anak-anak itu tahu sang pemilik rumah tengah memperhatikan mereka dari balik jendela lebar  berkaca riben yang di siang hari terlihat gelap dari luar sehingga bisa digunakan untuk bercermin, harus menempelkan muka untuk melihat ke dalam, sebaliknya di dalam mampu melihat keluar dengan leluasa. Mereka menyadari kalau teguran itu menunjukkan bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Enggak perlu diulangi, kata-kata yang  mengandung wibawa tersebut memaksa anak yang membawa galah untuk bergeser mundur. Satu persatu mereka meninggalkan halaman yang penuh dengan tanaman itu. Tanaman yang bagi pemiliknya adalah kehidupannya.
Dengan resah, pemilik halaman itu duduk di kursi yang ia letakkan sedemikian rupa sehingga dalam posisinya dia bisa menggapai sudut-sudut rumahnya dengan pandangan. Suatu pengawasan yang diupayakan meski sebatas pekarangan rumahnya. Di atas tanah miliknya ia bisa meng-kondisikan suasana semacam suaka alam. Hanya sebatas jengkal tanah yang disyahkan negara menjadi hak miliknya. Andai ia bisa berbuat lebih! Pikirannya menerawang. Meski hanya menyediakan tanaman biji-bijian di pojokan. Hatinya merasa terhibur ketika segerombolan burung kecil  riuh memilih buah ranti. Mematuk cepat biji othek, bahkan ada yang membawa terbang buah kresen yang memerah. Menanti-nanti kejutan dari kadal atau bunglon yang bergerak cepat diantara belukar. Mengikuti alur iring-iringan semut yang membawa klungsungan(kelupasan kulit) serangga ke sarangnya. Atau sentilan kecil yang mengagetkan dari belalang. Menyediakan  satu lahan tanaman lalu membiarkan daunnya rantas hingga tampak ulat-ulat menggeliat sementara waktu untuk kemudian muncul makhluk jelmaan ulat yang indah, kupu-kupu! Anggukan dedaunan, senyum yang merekah dari bunga-bunga, dan lambaian buah mengisi nafas kehidupan. Dan ia bersama keluarganya begitu menikmati anugerah luar biasa itu. Sepekarangan rumahnya yang tidak seberapa luas. Bergantian bersama istri dan seorang anaknya berkebun dan menyiangi rumput.
Langkahnya perlahan namun mantap. Pandangannya lurus seolah ingin menembus ruang waktu.  Di usianya yang menapaki senja, tubuhnya terhitung masih kekar dan kokoh. Menandakan bahwa Pakdhe Marto, begitu ia akrab disapa adalah seorang pekerja keras di masa mudanya.  Memasuki pensiun pun Pakdhe Marto selalu menyempatkan diri berjalan-jalan. Semua  mengenal dan tau kebiasaan piyayi sepuh (orang tua) tersebut. Yang disapa sering berhenti barang sejenak untuk sekedar berbincang dan kadang memberi beberapa petunjuk. Di kalangan masyarakat, pakdhe Marto memang orang yang dituakan. Bukan hanya sepuhnya, pengalaman dan wawasan pengetahuannya yang luas membuat setiap petuah bijak senantiasa dinanti darinya. Bagi pakdhe Marto, apa yang ia ketahui memang harus ia sampaikan pada yang lain dan beliau selalu berusaha menyampaikannya. Meski terkadang kehilangan kata-kata untuk menjelaskan suatu hal. Saat uraian penjelasan dari mulut tak lagi mempan.  Beda kelapa beda isi, lain kepala lain pula persepsi. Menyadari itu, pakdhe Marto kerap menyendiri. Kepeduliannya pada lingkungan yang menjadikannya tersisih dari keakraban duniawi. Hal yang membuatnya gamang dalam mengambil keputusan. Dia tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan  kehidupan yang bukan miliknya, namun ia sadar telah menjadi bagian dari satu lingkungan harus berbuat sesuatu walaupun apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan hati nuraninya. Berkali-kali ia memohon ampun dan terus meminta petunjuk pada Sang Khaliq. Keganasan macan, hanya memerlukan makan seekor rusa atau pelanduk yang terpisah dari rombongannya, itupun untuk beberapa hari. Rakusnya serigala atau seliar ular hanya mampu memangsa. Sedangkan manusia yang diharapkan sebagai khalifah di muka bumi ini dengan tamak merusak keseimbangan alam. Mereka seperti tidak peduli dengan keberadaan alam itu bukan hanya untuk dimanfaatkan namun juga sekaligus harus dijaga keutuhannnya.
Hutan yang tinggal beberapa bagian, ada tanda-tanda akan lebih terdesak lagi untuk pemukiman dan tanah garapan. Pohon-pohon raksasa terancam digusur seolah terlupakan jasanya selama bertahun-tahun mencengkeram tanah agar tidak longsor, membendung air lalu menyimpannya,  menjadi peneduh dan membersihkan udara. Pakdhe Marto berupaya mempertahankan keberadaan mereka dengan cara yang tak lazim dilakukannya. Beliau termasuk hamba yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa memutuskan melakukan ritual tanpa berniat melakukan kesyirikan. Ketakutan manusia atas kekuatan lain selain dari Yang Maha Kuasa sempat merisaukannya dan Pakdhe Marto mencoba mengambil keuntungan dari sisi kelemahan manusia itu. Akalnya merasa terbatas dan tak mampu memikirkan tindakan yang lain. Sengaja sepekan sekali, ia membeli secawan bunga mawar, melati, atau kenanga, kadang dengan janur yang dibentuk keris yang dicuci lalu ditata dalam  bokor kecil mirip perlengkapan sesajen dan diletakkannya pada beberapa pangkal batang pohon-pohon besar.  Seperti yang diharapkan, tak seorang pun yang berani  menyentuh pohon yang ia beri wewaler (semacam tanda untuk suatu bahaya atau pantangan) karena kepercayaan orang terhadap hal-hal mistis masih tinggi. Mereka takut kuwalat kalau melanggar wewaler tersebut dan akan terkena bebendhu (malapetaka sebagai hukuman).  
Sudah sekian waktu, tak ada yang tahu untuk apa Pakdhe Marto menyusuri jalan kampung dan memasuki hutan seorang diri karena sudah menjadi adatnya. Pagi-pagi beliau keluar, berjalan kaki lalu pulang menjelang Dzuhur. Kebiasaan yang juga ia tularkan pada orang-orang  yang meminta restu dan petunjuk darinya untuk mendapatkan kamukten yang disimbolkan dengan diperolehnya jabatan atau kedudukan dalam hidup bermasyarakat. Bahwa setiap gegayuhan(cita-cita)  diperlukan perjuangan jua pengorbanan. Masyarakat Jawa menamakan syarat menuju tercapainya cita-cita sebagai sarana ‘laku’  yaitu hidup dalam suasana keprihatinan. Bukannya tanpa maksud bila pakdhe Marto menyarankan seseorang yang ingin jadi pemimpin untuk ‘mager sari‘. Mager, istilah jawa yang artinya membuat pagar dan sari yang artinya hasil atau karunia. Mager sari adalah salah satu laku dengan mengelilingi wilayah yang akan dikuasai seperti halnya naluri harimau sang penguasa hutan. Harimau mampu mengetahui daerah kekuasaannya. Filosofi dari laku ini adalah pemimpin seharusnya mengenal daerah yang akan menjadi tanggungjawabnya kelak. Dengan berjalan kaki berkeliling seorang diri secara langsung, maka dia akan tahu bagaimana keadaan rakyatnya, lebih dekat dengan yang dipimpinnya, apa potensi daerahnya, dan apa yang harus dibenahi. Tidak semua mampu menjalani laku ini, kecuali hanya lelah berjalan saja tanpa menemukan sesuatu. Pakdhe Marto terus mewanti-wanti kalau niatan awal itu penentu langkah selanjutnya.
 Pakdhe Marto bisa bernafas lega sementara waktu. Hutan yang akan dibuka untuk tanah garapan belum mengusik barisan pepohonan raksasa itu. Dan ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika pak Kabayan (Sekretaris Desa) berkunjung ke rumahnya dan memberitahu rencana pembangunan jalan tembus antar desa dimana keberadaan hutan ikut tergusur walau hanya sebagian. Seketika pandangan beliau meredup mendengar detil pembicaraan pak Kabayan dan pak Kadus yang menyusulnya. Mereka meminta bantuan pakdhe Marto untuk memenuhi syarat guna pembukaan hutan itu agar semua berjalan rancak tanpa aral melintang. Mereka mengetahui bahwa pakdhe Marto sering keluar masuk hutan tanpa gangguan apapun. Banyak saksi mata yang mengetahui beliau membawa ubarampe (peralatan) sesajen meski pakdhe Marto masih berkilah bahwa ia hanya membeli bunga untuk nyekar (tabur bunga, biasanya ke makam). Ditambah keberhasilan pejabat dan orang terpandang yang mendapat petunjuk dari pakdhe Marto itu makin membuat mereka yakin beliau punya piyandel (semacam kekuatan ghaib). Seleret kekecewaan menimbulkan luka yang perih dalam perasaannya. Mata yang biasanya berkilat-kilat itu hilang sinarnya dalam sekejap. Yang nampak kemudian sorot mata dengan bias kelelahan yang amat sangat. Akibat ritual yang dilakukannya membuatnya dituduh sebagai paranormal. Bagaimanapun, ia tak akan ingkar dari konsekuensi segala tindakannya akhirnya meminta ganti lahan hutan yang akan dibuka agar bisa segera dilakukan reboisasi. Entah hanya basa-basi atau sekedar terpenuhinya persyaratan, program penanaman hutan kembali  tak selancar proyek pembangunan jalan. Hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan tanah garapan sulit kembali ke wujud aslinya. Belantara itu bukan hutan tapi hunian. Masing-masing bersikeras mempertahankan kepemilikannya. Dan pakdhe Marto ikut tumbang bersama pohon-pohon berusia puluhan tahun itu. Satu-persatu pohon berusia lanjut itu roboh seiring kesehatan pakdhe Marto yang kian memburuk.
____  
 “Melihat beliau tersenyum seperti orang yang sedang tidur lelap. Semoga beliau khusnul khatimah. Hanya itu yang bisa kita harapkan pada ALLAH Ta’ala. Aku salut dengan apa yang beliau telah lakukan. Jangan salahkan jalan yang telah beliau pilih!“ berkata Yudha pada Nawang, putri semata wayang almarhum pakdhe Marto. Bersama para relawan pecinta alam lain menelusuri bekas hutan yang hangus terbakar. Mereka kuliah di universitas yang sama cuma beda almamater. Yudha kakak tingkat Nawang di jurusan FP MIPA. Mereka dekat karena kerap bersama dalam kegiatan kemanusiaan. Mereka telah terikat dalam pernikahan sesaat sebelum Ayah Nawang meninggal. Belum banyak yang tahu status mereka berdua karena mereka berdua bersepakat tidak mengadakan walimahan karena masih  dalam keadaan berduka.
Nawang menghentikan langkahnya. Tatapannya jauh ke pemandangan lereng pegunungan yang terbentang di hadapannya. Bukan menyalahkan! Nawang tahu apa yang dilakukan ayahnya. Tapi... apakah Ayahnya tiada dalam keadaan muslim? Bersama mereka ada di dekat ayahnya saat sakaratul mautnya. Tanpa mendengar lafal ALLAH, Ayahnya berlalu begitu saja. Ada rasa takut kehilangan beliau dalam keadaan non muslim. Hanya suaranya mengucap istighfar dan Inalillah tercekat diantara tangis yang ditahan-tahan. Begitu dekatnya dengan sang ayah yang mengajarinya hidup dalam kebersahajaan, merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki dan berusaha menjaga amanah sebagai bentuk rasa syukur. Namun, anggapan orang-orang terhadap ayahnya sebagai dukun atau ‘orang pintar‘ benar-benar mimpi buruk yang menghantui keluarga yang ditinggalkannya.    
Hutan buatan yang terbakar di musim kemarau bukan kejadian asing. Lagi-lagi kesalahan yang fatal ditimbulkan oleh ulah manusia yang iseng membuang puntung rokok atau batang korek yang masih menyala pada semak-semak kering. Api sekecil apapun dengan mudah menyulut kebakaran. Mereka, para relawan hanya bisa prihatin. Mereka sering memergoki kawanan pendaki yang iseng tersebut, sekali dua kali tapi lain kali kekhilafan itu terjadi dan menimbulkan kerusakan parah sebagai akibat kebakaran. Untunglah penduduk sekitar sudah punya bekal pengalaman dan pengetahuan mengatasi kebakaran hutan itu walau kadang sampai meluas jika tidak segera mendapatkan penanganan khusus. Bersama para masyarakat, relawan bahu membahu membenahi bekas kebakaran itu agar menghijau kembali. Curahan hujan ikut membantu menyuburkan harapan tentang kebaikan yang hampir padam.  
Sekonyong-konyong mata Nawang tertumbuk pada sesajen di atas batu besar.  Apa maksud orang tersebut? Jika ayahnya ingin mempertahankan keberadaan pepohonan, tapi ini? Dilihatnya, lampu teplok yang masih penuh dengan minyak tanah dan menyala. Sembrono sekali! Api itu bisa membahayakan keberadaan hutan. Kenyataan pilu yang menimpa ayahnya membuat perasaan Nawang bergejolak. Ini tidak bisa dibiarkan! Keterlaluan! Ini benar-benar suatu penghinaan! Fitnah!
Lampu teplok kecil itu sudah tak berbentuk lagi. Dengan sudut matanya, sepasang mata elang itu mengikuti gerakan yang dengan nafas terengah-engah menyurukkan benda-benda itu ke bawah tanah. Hatinya berdebar-debar mendapati wanita yang lembut perangai tersebut mendadak berubah menjadi emosional dan cenderung kasar. Sudah tak nampak bayangan air di pelupuk matanya namun air mukanyalah yang gelap. Akhirnya, ia menyadari bahwa apa yang dikhawatirkan pakdhe Marto, mertua yang dihormatinya benar-benar terjadi. Hanya harapan yang seringkali tersirat dalam tutur katanya bahwa Tuhan Semesta alam akan selalu menyaksikan kedalaman hati hamba-NYA sehingga hamba-Nya tidak  perlu risau memikirkan hasil apalagi perkataan dan olok-olok manusia namun niatan awal dan bagaimana mencapai sesuatu itulah yang diperhitungkan-NYA.  Yudha segera meraih belahan jiwanya lalu mendekapnya dalam untaian doa perlindungan dan permohonan limpahan karunia-NYA. 

Dengan mata yang masih membasah, Nawang menaburkan bunga yang masih segar dan harum itu ke onggokan batang yang terserak. Masih ada rasa perih yang menyayat.  Rasa yang sama seperti saat dirinya kehilangan orang yang begitu lekat dalam kenangannya. Yang mengajarkan artinya apa yang ada di sekitarnya. Bahwa jika ia peduli maka alam pun akan peduli.  
Batang pohon-pohon itu karunia ALLAH biarlah ALLAH Yang Mempertahankan dengan cara-NYA. Sebagai manusia yang diamanahi mereka telah berusaha menjaga titipan-NYA, selanjutnya mereka hanya bisa pasrah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar