Pernah diikutkan dalam Kompetisi Tulis Nusantara. Harapan terpendam menjadikan halaman rumah yang dititpkan ALLAH pada hamba-Nya ini menjadi suaka alam...
GALAH bambu itu mengarah ke ranting pohon asam yang rimbun. Sepasang mata yang sedari tadi mengamati tingkah polah beberapa anak mulai bergeming. Sejak anak-anak sepermainan itu datang meminta ijin memetik buah jambu sukun yang sedang lebat-lebatnya berbuah di halaman depan rumah, penglihatan mata yang tajam mengikuti langkah mereka tanpa mereka sadari. Seolah-olah setiap jengkal tanah akan dijaganya dari tindak angkara murka.
GALAH bambu itu mengarah ke ranting pohon asam yang rimbun. Sepasang mata yang sedari tadi mengamati tingkah polah beberapa anak mulai bergeming. Sejak anak-anak sepermainan itu datang meminta ijin memetik buah jambu sukun yang sedang lebat-lebatnya berbuah di halaman depan rumah, penglihatan mata yang tajam mengikuti langkah mereka tanpa mereka sadari. Seolah-olah setiap jengkal tanah akan dijaganya dari tindak angkara murka.
“Sarang
burung itu memang dipelihara disitu dan jangan diusik!” suara yang lantang itu menggema cukup untuk membuat semua anak
itu termangu-mangu. Tak perlu mencari asal suara, anak-anak itu tahu sang
pemilik rumah tengah memperhatikan mereka dari balik jendela lebar berkaca riben yang di siang hari terlihat
gelap dari luar sehingga bisa digunakan untuk bercermin, harus menempelkan muka
untuk melihat ke dalam, sebaliknya di dalam mampu melihat keluar dengan leluasa.
Mereka menyadari kalau teguran itu menunjukkan bahwa mereka telah melakukan
kesalahan. Enggak perlu diulangi, kata-kata yang mengandung wibawa tersebut memaksa anak yang
membawa galah untuk bergeser mundur. Satu persatu mereka meninggalkan halaman
yang penuh dengan tanaman itu. Tanaman yang bagi pemiliknya adalah
kehidupannya.
Dengan
resah, pemilik halaman itu duduk di kursi yang ia letakkan sedemikian rupa
sehingga dalam posisinya dia bisa menggapai sudut-sudut rumahnya dengan
pandangan. Suatu pengawasan yang diupayakan meski sebatas pekarangan rumahnya.
Di atas tanah miliknya ia bisa meng-kondisikan suasana semacam suaka alam.
Hanya sebatas jengkal tanah yang disyahkan negara menjadi hak miliknya. Andai
ia bisa berbuat lebih! Pikirannya menerawang. Meski hanya menyediakan tanaman
biji-bijian di pojokan. Hatinya merasa terhibur ketika segerombolan burung
kecil riuh memilih buah ranti. Mematuk
cepat biji othek, bahkan ada yang membawa terbang buah kresen yang memerah.
Menanti-nanti kejutan dari kadal atau bunglon yang bergerak cepat diantara
belukar. Mengikuti alur iring-iringan semut yang membawa klungsungan(kelupasan kulit) serangga ke sarangnya. Atau sentilan
kecil yang mengagetkan dari belalang. Menyediakan satu lahan tanaman lalu membiarkan daunnya
rantas hingga tampak ulat-ulat menggeliat sementara waktu untuk kemudian muncul
makhluk jelmaan ulat yang indah, kupu-kupu! Anggukan dedaunan, senyum yang
merekah dari bunga-bunga, dan lambaian buah mengisi nafas kehidupan. Dan ia
bersama keluarganya begitu menikmati anugerah luar biasa itu. Sepekarangan
rumahnya yang tidak seberapa luas. Bergantian bersama istri dan seorang anaknya
berkebun dan menyiangi rumput.
Langkahnya perlahan namun
mantap. Pandangannya lurus seolah ingin menembus ruang waktu. Di usianya yang menapaki senja, tubuhnya
terhitung masih kekar dan kokoh. Menandakan bahwa Pakdhe Marto, begitu ia akrab
disapa adalah seorang pekerja keras di masa mudanya. Memasuki pensiun pun Pakdhe Marto selalu
menyempatkan diri berjalan-jalan. Semua
mengenal dan tau kebiasaan piyayi
sepuh (orang tua) tersebut. Yang disapa sering berhenti barang sejenak
untuk sekedar berbincang dan kadang memberi beberapa petunjuk. Di kalangan
masyarakat, pakdhe Marto memang orang yang dituakan. Bukan hanya sepuhnya,
pengalaman dan wawasan pengetahuannya yang luas membuat setiap petuah bijak
senantiasa dinanti darinya. Bagi pakdhe Marto, apa yang ia ketahui memang harus
ia sampaikan pada yang lain dan beliau selalu berusaha menyampaikannya. Meski
terkadang kehilangan kata-kata untuk menjelaskan suatu hal. Saat uraian
penjelasan dari mulut tak lagi mempan. Beda
kelapa beda isi, lain kepala lain pula persepsi. Menyadari itu, pakdhe
Marto kerap menyendiri. Kepeduliannya pada lingkungan yang menjadikannya
tersisih dari keakraban duniawi. Hal yang membuatnya gamang dalam mengambil
keputusan. Dia tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan kehidupan yang bukan miliknya, namun ia sadar
telah menjadi bagian dari satu lingkungan harus berbuat sesuatu walaupun apa
yang akan dilakukannya bertentangan dengan hati nuraninya. Berkali-kali ia
memohon ampun dan terus meminta petunjuk pada Sang Khaliq. Keganasan macan, hanya memerlukan makan seekor rusa
atau pelanduk yang terpisah dari rombongannya, itupun untuk beberapa hari.
Rakusnya serigala atau seliar ular hanya mampu memangsa. Sedangkan manusia yang
diharapkan sebagai khalifah di muka
bumi ini dengan tamak merusak keseimbangan alam. Mereka seperti tidak peduli
dengan keberadaan alam itu bukan hanya untuk dimanfaatkan namun juga sekaligus
harus dijaga keutuhannnya.
Hutan yang tinggal beberapa
bagian, ada tanda-tanda akan lebih terdesak lagi untuk pemukiman dan tanah
garapan. Pohon-pohon raksasa terancam digusur seolah terlupakan jasanya selama
bertahun-tahun mencengkeram tanah agar tidak longsor, membendung air lalu
menyimpannya, menjadi peneduh dan
membersihkan udara. Pakdhe Marto berupaya mempertahankan keberadaan mereka
dengan cara yang tak lazim dilakukannya. Beliau termasuk hamba yang percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa memutuskan melakukan ritual tanpa berniat melakukan kesyirikan. Ketakutan manusia atas
kekuatan lain selain dari Yang Maha Kuasa sempat merisaukannya dan Pakdhe Marto
mencoba mengambil keuntungan dari sisi kelemahan manusia itu. Akalnya merasa
terbatas dan tak mampu memikirkan tindakan yang lain. Sengaja sepekan sekali,
ia membeli secawan bunga mawar, melati, atau kenanga, kadang dengan janur yang
dibentuk keris yang dicuci lalu ditata dalam
bokor kecil mirip perlengkapan sesajen dan diletakkannya pada beberapa
pangkal batang pohon-pohon besar. Seperti yang diharapkan, tak seorang pun yang
berani menyentuh pohon yang ia beri wewaler (semacam tanda untuk suatu
bahaya atau pantangan) karena kepercayaan orang terhadap hal-hal mistis masih
tinggi. Mereka takut kuwalat kalau melanggar wewaler tersebut dan akan terkena bebendhu (malapetaka sebagai hukuman).
Sudah sekian waktu, tak ada
yang tahu untuk apa Pakdhe Marto menyusuri jalan kampung dan memasuki hutan
seorang diri karena sudah menjadi adatnya. Pagi-pagi beliau keluar, berjalan
kaki lalu pulang menjelang Dzuhur.
Kebiasaan yang juga ia tularkan pada orang-orang yang meminta restu dan petunjuk darinya untuk
mendapatkan kamukten yang disimbolkan
dengan diperolehnya jabatan atau kedudukan dalam hidup bermasyarakat. Bahwa
setiap gegayuhan(cita-cita) diperlukan perjuangan jua pengorbanan.
Masyarakat Jawa menamakan syarat menuju tercapainya cita-cita sebagai sarana ‘laku’
yaitu hidup dalam suasana keprihatinan. Bukannya tanpa maksud bila
pakdhe Marto menyarankan seseorang yang ingin jadi pemimpin untuk ‘mager sari‘. Mager,
istilah jawa yang artinya membuat pagar dan sari
yang artinya hasil atau karunia. Mager
sari adalah salah satu laku
dengan mengelilingi wilayah yang akan dikuasai seperti halnya naluri harimau
sang penguasa hutan. Harimau mampu mengetahui daerah kekuasaannya. Filosofi
dari laku ini adalah pemimpin seharusnya
mengenal daerah yang akan menjadi tanggungjawabnya kelak. Dengan berjalan kaki berkeliling
seorang diri secara langsung, maka dia akan tahu bagaimana keadaan rakyatnya,
lebih dekat dengan yang dipimpinnya, apa potensi daerahnya, dan apa yang harus
dibenahi. Tidak semua mampu menjalani laku
ini, kecuali hanya lelah berjalan saja tanpa menemukan sesuatu. Pakdhe Marto
terus mewanti-wanti kalau niatan awal itu penentu langkah selanjutnya.
Pakdhe Marto bisa bernafas lega sementara
waktu. Hutan yang akan dibuka untuk tanah garapan belum mengusik barisan
pepohonan raksasa itu. Dan ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika pak Kabayan
(Sekretaris Desa) berkunjung ke rumahnya dan memberitahu rencana pembangunan
jalan tembus antar desa dimana keberadaan hutan ikut tergusur walau hanya sebagian.
Seketika pandangan beliau meredup mendengar detil pembicaraan pak Kabayan dan pak
Kadus yang menyusulnya. Mereka meminta bantuan pakdhe Marto untuk memenuhi
syarat guna pembukaan hutan itu agar semua berjalan rancak tanpa aral melintang.
Mereka mengetahui bahwa pakdhe Marto sering keluar masuk hutan tanpa gangguan
apapun. Banyak saksi mata yang mengetahui beliau membawa ubarampe (peralatan) sesajen meski pakdhe Marto masih berkilah
bahwa ia hanya membeli bunga untuk nyekar
(tabur bunga, biasanya ke makam). Ditambah keberhasilan pejabat dan orang
terpandang yang mendapat petunjuk dari pakdhe Marto itu makin membuat mereka
yakin beliau punya piyandel (semacam kekuatan
ghaib). Seleret kekecewaan menimbulkan luka yang perih dalam perasaannya. Mata yang biasanya berkilat-kilat itu hilang sinarnya
dalam sekejap. Yang nampak kemudian sorot mata dengan
bias kelelahan yang amat sangat. Akibat ritual yang dilakukannya membuatnya
dituduh sebagai paranormal. Bagaimanapun, ia tak akan ingkar dari konsekuensi
segala tindakannya akhirnya meminta ganti lahan hutan yang akan dibuka agar
bisa segera dilakukan reboisasi.
Entah hanya basa-basi atau sekedar terpenuhinya persyaratan, program penanaman
hutan kembali tak selancar proyek
pembangunan jalan. Hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan tanah
garapan sulit kembali ke wujud aslinya. Belantara itu bukan hutan tapi hunian.
Masing-masing bersikeras mempertahankan kepemilikannya. Dan pakdhe Marto ikut
tumbang bersama pohon-pohon berusia puluhan tahun itu. Satu-persatu pohon
berusia lanjut itu roboh seiring kesehatan pakdhe Marto yang kian memburuk.
____
“Melihat beliau tersenyum seperti orang yang
sedang tidur lelap. Semoga beliau khusnul
khatimah. Hanya itu yang bisa kita harapkan pada ALLAH Ta’ala. Aku salut
dengan apa yang beliau telah lakukan. Jangan salahkan jalan yang telah beliau
pilih!“ berkata Yudha pada Nawang, putri semata wayang almarhum pakdhe Marto.
Bersama para relawan pecinta alam lain menelusuri bekas hutan yang hangus
terbakar. Mereka kuliah di universitas yang sama cuma beda almamater. Yudha
kakak tingkat Nawang di jurusan FP MIPA. Mereka dekat karena kerap bersama
dalam kegiatan kemanusiaan. Mereka telah terikat dalam pernikahan sesaat
sebelum Ayah Nawang meninggal. Belum banyak yang tahu status mereka berdua
karena mereka berdua bersepakat tidak mengadakan walimahan karena masih dalam keadaan berduka.
Nawang
menghentikan langkahnya. Tatapannya jauh ke pemandangan lereng pegunungan yang
terbentang di hadapannya. Bukan menyalahkan! Nawang tahu apa yang dilakukan
ayahnya. Tapi... apakah Ayahnya tiada dalam keadaan muslim? Bersama mereka ada
di dekat ayahnya saat sakaratul
mautnya. Tanpa mendengar lafal ALLAH, Ayahnya berlalu begitu saja. Ada rasa
takut kehilangan beliau dalam keadaan non muslim. Hanya suaranya mengucap istighfar dan Inalillah tercekat diantara tangis yang ditahan-tahan. Begitu
dekatnya dengan sang ayah yang mengajarinya hidup dalam kebersahajaan, merasa
cukup dengan apa yang telah dimiliki dan berusaha menjaga amanah sebagai bentuk
rasa syukur. Namun, anggapan orang-orang terhadap ayahnya sebagai dukun atau ‘orang pintar‘ benar-benar mimpi buruk
yang menghantui keluarga yang ditinggalkannya.
Hutan buatan yang terbakar
di musim kemarau bukan kejadian asing. Lagi-lagi kesalahan yang fatal
ditimbulkan oleh ulah manusia yang iseng membuang puntung rokok atau batang
korek yang masih menyala pada semak-semak kering. Api sekecil apapun dengan
mudah menyulut kebakaran. Mereka, para relawan hanya bisa prihatin. Mereka
sering memergoki kawanan pendaki yang iseng tersebut, sekali dua kali tapi lain
kali kekhilafan itu terjadi dan menimbulkan kerusakan parah sebagai akibat
kebakaran. Untunglah penduduk sekitar sudah punya bekal pengalaman dan
pengetahuan mengatasi kebakaran hutan itu walau kadang sampai meluas jika tidak
segera mendapatkan penanganan khusus. Bersama para masyarakat, relawan bahu
membahu membenahi bekas kebakaran itu agar menghijau kembali. Curahan hujan
ikut membantu menyuburkan harapan tentang kebaikan yang hampir padam.
Sekonyong-konyong mata
Nawang tertumbuk pada sesajen di atas batu besar. Apa maksud orang tersebut? Jika ayahnya ingin
mempertahankan keberadaan pepohonan, tapi ini? Dilihatnya, lampu teplok yang
masih penuh dengan minyak tanah dan menyala. Sembrono sekali! Api itu bisa
membahayakan keberadaan hutan. Kenyataan pilu yang menimpa ayahnya membuat
perasaan Nawang bergejolak. Ini tidak bisa dibiarkan! Keterlaluan! Ini
benar-benar suatu penghinaan! Fitnah!
Lampu
teplok kecil itu sudah tak berbentuk lagi. Dengan sudut matanya, sepasang mata
elang itu mengikuti gerakan yang dengan nafas terengah-engah menyurukkan
benda-benda itu ke bawah tanah. Hatinya berdebar-debar mendapati wanita yang lembut
perangai tersebut mendadak berubah menjadi emosional dan cenderung kasar. Sudah
tak nampak bayangan air di pelupuk matanya namun air mukanyalah yang gelap.
Akhirnya, ia menyadari bahwa apa yang dikhawatirkan pakdhe Marto, mertua yang
dihormatinya benar-benar terjadi. Hanya harapan yang seringkali tersirat dalam
tutur katanya bahwa Tuhan Semesta alam akan selalu menyaksikan kedalaman hati
hamba-NYA sehingga hamba-Nya tidak perlu
risau memikirkan hasil apalagi perkataan dan olok-olok manusia namun niatan
awal dan bagaimana mencapai sesuatu itulah yang diperhitungkan-NYA. Yudha segera meraih belahan jiwanya lalu
mendekapnya dalam untaian doa perlindungan dan permohonan limpahan karunia-NYA.
Dengan mata yang masih membasah, Nawang menaburkan bunga yang masih segar dan harum itu ke onggokan batang yang terserak. Masih ada rasa perih yang menyayat. Rasa yang sama seperti saat dirinya kehilangan orang yang begitu lekat dalam kenangannya. Yang mengajarkan artinya apa yang ada di sekitarnya. Bahwa jika ia peduli maka alam pun akan peduli.
Batang pohon-pohon itu karunia ALLAH biarlah ALLAH Yang Mempertahankan dengan cara-NYA. Sebagai manusia yang diamanahi mereka telah berusaha menjaga titipan-NYA, selanjutnya mereka hanya bisa pasrah.
Dengan mata yang masih membasah, Nawang menaburkan bunga yang masih segar dan harum itu ke onggokan batang yang terserak. Masih ada rasa perih yang menyayat. Rasa yang sama seperti saat dirinya kehilangan orang yang begitu lekat dalam kenangannya. Yang mengajarkan artinya apa yang ada di sekitarnya. Bahwa jika ia peduli maka alam pun akan peduli.
Batang pohon-pohon itu karunia ALLAH biarlah ALLAH Yang Mempertahankan dengan cara-NYA. Sebagai manusia yang diamanahi mereka telah berusaha menjaga titipan-NYA, selanjutnya mereka hanya bisa pasrah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar